Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

SBY, "bertekuk lutut" Demi Gelar dan Kasur di Buckingham

30 Oktober 2012   20:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:12 2140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13516270661595437848

[caption id="attachment_213923" align="aligncenter" width="344" caption="Ilustrasi pribadi, dari berbagai sumber."][/caption] Sebenarnya apa hak rakyat jelata untuk meminta pertolongan kepada presiden Republik Indonesia pasca Megawati?. Bukankah mereka, mungkin sebagian dari anda, termasuk saya dan kita semua hanya orang - orang yang tidak penting bagi seseorang?. Seseorang yang pernah terpilih dan sekarang sedikit disesali tapi sejarah hanya akan mengungkit keberhasilanya saja, kelak. Dari Presiden Soeharto hingga Megawati, Presiden Republik ini dipilih oleh MPR, itulah sebabnya kita hanya akan melihat pertanggungjawaban seorang Presiden hanya kepada MPR. Dan secara teori, dengan kondisi demikian, maka rakyat pun tidak berhak mengatakan "Tolong kami pak/ibu presiden...?!". Sekarang, dengan sistem pemilihan langsung, maka secara teori dan emosional-pun, rakyat mendapatkan haknya untuk mengadu dan "menuntut" presidennya. Karena tidak akan seseorang menjadi presiden RI tanpa suara dari rakyat, baik ia memilih yang terpilih ataupun tidak, karena itu adalah bagian dari aturan main demokrasi. Jangan heran kalau untuk urusan tetek bengek sekalipun, rakyat akan langsung berteriak "tolong kami pak presiden...", karena merekalah yang menjadikan seseorang duduk nikmat di istana sana... Lalu... Jika urusan kecil saja mengadu ke presiden, bukankah urusan yang genting dan mendesak juga harus diadukan kepada beliau? Sebab rakyat tidak pernah menganggap pembantu presiden sebagai kepanjangan tangan pemimpinnya.  Bahkan, Bupati atau Gubernur yang mereka pilih langsung tak akan dianggap sebagai wakil pemerintah pusat. Mungkin karena mereka hanya "tikus" perusak "lumbung padi (APBN-red)" negara. Minggu terakhir bulan Oktober 2012, dimana kita sedang mencoba mengais ingatan sejarah perihal Sumpah Pemuda, kita melihat atau setidaknya mendengar saudara - saudara kita saling bantai. Mulai dari Lampung yang berhasil menjadikan tetangganya sebanyak sepuluh orang sebagai "bangkai". Ada juga yang ingin sungainya tetap bersih tanpa limbah di Batang Toru -SUMUT, Saling serang di SIGI- Sulawesi, Gempa di NTT, dan lainnya... Terutama di Kalianda - Lampung Selatan, nyawa 10 orang itu mati sia-sia. Dan kegamangan Kepolisian yang takut  dianggap sebagai pelanggar HAM atau dituduh "membiarkan", memerlukan arahan atau dukungan langsung dari "Ketua Panglima". Tapi... Apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang terobsesi gelar dan hormat? Apalah arti nyawa rakyat jelata yang tidak pernah tertib, sekalipun hanya untuk sesuatu yang "katanya-katanya...", dibandingkan menginap di kasur empuk Istana Buckingham? Dua malam pula... Apalah pentingnya kekacauan di Sulawesi dan NTT,  daripada gelar Ksatria??? Bukankah gelar Ksatria lebih hebat daripada sebuah penganugerahan Marga dari rakyat yang tidak pernah dijajah seperti Batak? Memang, ada kepentingan besar disana, dimana kita bisa menerima pengakuan Kerajaan Inggris akan kedaulatan Republik atas Papua. Dan itu berarti kita mendapat tambahan "amunisi" untuk menangkal "rongrongan" Belanda, yang belum mengakui  RI merdeka sejak  tahun 1945. Karena Belanda ingin tahun 1950 atau 1952. Tapi, bukankah itu bisa di tunda barang  satu atau dua bulan kedepan? Toh, Presiden belum lengser sampai tahun depan kan? Kita masih harus dengan bosan menunggu penghinaan dan pembantaian yang dilakukan Malaysia atas pahlawan devisa kita hingga 2014. Walaupun itu bukan jaminan... Tapi sudahlah... Semoga Gelar Ksatria tidak serta merta menjadikan rakyat Inggris menganggap Indonesia adalah bagian dari Inggris Raya dengan Persemakmurannya. Karena kita adalah setara/sejajar dengan negeri Sang Ratu (menurut Bung Karno). Dan semoga Gelar itu menjadikan sang presiden, melupakan atau meninggalkan gelar kepengecutannya. Walaupun warga antar kampung dan kecamatan sedang mencoba saling mencacah daging saudaranya... Mereka hanya rakyat jelata... wong cilik tak perlu berdiam di alam pikir sang presiden eh... sang ksatria...! =SachsTM=

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun