Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Penyair di Persimpangan Teknologi Informasi?

3 Mei 2017   08:00 Diperbarui: 3 Mei 2017   08:26 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penyair di persimpangan teknologi informasi (sumber: https://cdn.tmpo.co)


Sewaktu menjalani sesi wawancara yang dilakukan oleh dua mahasiswa UMN pada tanggal 29 April kemarin, saya mendapat sebuah pertanyaan yang “memaksa” saya berpikir keras. Pertanyaan yang dimaksud adalah “Mengapa minat remaja terhadap karya sastra, khususnya puisi, menurun belakangan ini?” Tidak mudah memang menjawab pertanyaan itu. Saya pun tertegun sejenak merefleksikan pengalaman yang sudah lewat.

Sebagai seseorang yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan, saya mengakui sering mendapat kesulitan sewaktu akan mengajarkan siswa saya pelajaran tentang puisi. Menurut saya, puisi itu multitafsir sehingga siapapun yang membacanya mempunyai penilaian yang berbeda.

Hal itulah yang terkadang memicu “debat panas” antara saya dan beberapa siswa sewaktu kami membahas contoh soal Ujian Nasional di kelas. Kalau sudah terjadi debat demikian, saya biasanya berusaha menyudahi perdebatan tersebut, biarpun masih ada siswa yang belum merasa puas atas jawaban tersebut.

Saya memakluminya karena barangkali saja mereka memaknai puisi lewat kacamata yang lain. Makanya, saya tak terlalu suka memaksakan pendapat saya ke siswa lantaran saya menyadari bahwa kebenaran tak melulu ditemukan lewat satu sudut pandangan saja.

Perdebatan semacam itu memang sulit dihindari. Namun demikian, mau bagaimana lagi? Apa saya harus melewatkan pembahasan sewaktu kami menjumpai soal tentang puisi? Jelas tidak bisa.

Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus membahasnya lantaran materi tentang puisi dimasukkan ke dalam Ujian Nasional.

Kesulitan itulah yang mungkin saja menyebabkan sebagian siswa tidak menyukai puisi. Mereka kemudian kehilangan minat membaca puisi lantaran merasa sukar memahami isinya.

Padahal, bagi saya, puisi itu tak melulu harus dipahami, tetapi juga dinikmati. Jika menikmati puisi, secara otomatis, kita pun akan mampu mengerti pesan yang terdapat di dalamnya. Namun, kalau hanya berusaha mati-matian menyingkap makna puisi, kita akan melewatkan “keindahan” di dalamnya.

Namun demikian, jawaban itu jelas belum menjawab secara keseluruhan pertanyaan tersebut. Makanya, kemudian saya menambahkan bahwa para penyair sudah seharusnya “melek” teknologi.

Jika sebelumnya lebih banyak menulis puisi di mesin tik atau komputer, penyair harus menemukan media lain, seperti media sosial, dalam “membumikan” puisi di masyarakat.

Kini sudah muncul sejumlah penyair yang menyadari pentingnya media sosial sehingga mereka pun tak lagi ragu memperkenalkan puisi-puisinya di media tersebut. Sebut saja Joko Pinurbo yang sering menuliskan puisinya di Twitter.

Kalau mengikuti akun Twitternya sepanjang 2012-2014, kita akan melihat sejumlah puisi pendek yang ditulisnya dengan gaya sederhana dan kesan yang dalam. Makanya, kemudian banyak followers-nya yang me-retweet puisinya hingga bisa dinikmati oleh penghuni jagad maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun