Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jangankan "Monstera" dari Tawangmangu, Harga Wajar Saham Saja Siapa yang Tahu?

20 September 2021   07:00 Diperbarui: 20 September 2021   15:20 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monstera King/Sumber: Kompas

Dalam praktiknya, PBV biasa dipakai untuk menilai saham perbankan, tetapi untuk sejumlah kasus, dapat juga digunakan untuk saham lain. Berbeda dengan PER, PBV mengacu pada nilai buku sebuah saham, yang mana nilai buku tersebut merupakan kekayaan bersih para investor. Disebut demikian, karena jika perusahaan dibubarkan, atau dibangkrutkan, maka seluruh aset-nya bakal dijual, utang-nya bakal dibayarkan, dan sisa-nya bakal dibayarkan kepada seluruh investornya.

Menilai sebuah saham dengan PBV sebetulnya mudah dilakukan, tetapi sayangnya, terdapat kelemahan yang mesti diwaspadai. Yaitu belum tentu nilai buku yang tertulis di laporan keuangan betul-betul real adanya. Nilai tersebut bisa saja berubah jika terjadi penilaian ulang.

Misal, di laporan keuangan tercatat bahwa perusahaan mempunyai aset sebesar 1 miliar, utang sebanyak 800 juta, dan ekuitas senilai 200 juta. Jika perusahaan dilikuidasi (seluruh aset 1 miliar dijual untuk bayar utang 800 juta), maka akan tersisa setidaknya 200 juta, yang bakal dibagi rata kepada investornya.

Namun, bagaimana jika skenarionya tidak demikian, mengingat setelah dilakukan penilaian ulang, ternyata nilai asetnya hanya 800 juta, bukan 1 miliar sebagaimana yang tertulis? Apabila skenario ini terjadi, maka tidak akan ada sisa uang manakala perusahaan bubar, atau dengan kata lain, seluruh uang investor habis karena tidak dapat apa-apa pada akhirnya!

Oleh sebab itu, untuk melakukan penilaian saham secara akurat dengan menggunakan PBV, sebaiknya investor juga melibatkan rasio lain, supaya tidak salah persepsi. Gunakanlah rasio utang, seperti Debt to Equity Ratio atau Current Ratio.

Rasio ini haruslah bagus. Sebab, rasio tadi bakal memperjelas bahwa nilai buku sebuah perusahaan memang benar-benar nyata, dan kalaupun suatu saat perusahaan sampai bangkrut, maka investor masih akan menerima haknya atas semua aset yang dijual.

3. Dividend Yield

Dividend Yield adalah persentase dividen terhadap harga saham, yang dibayarkan oleh perusahaan pada tahun buku sebelumnya. Selain tolok ukur untuk mengetahui besaran dividen yang bakal diterima, Dividend Yield juga berfungsi sebagai alat valuasi.

Ada sejumlah investor yang menggunakan parameter ini untuk menimbang mahal-murahnya sebuah harga saham. Caranya cukup sederhana. Jika sebuah saham mempunyai dividend yield di atas 5% atau lebih, maka boleh dikatakan, saham tersebut sedang dihargai murah. Sebab, umumnya saham-saham lain mempunyai kisaran dividend yield paling banyak 3%.

Biarpun begitu, menggunakan Dividend Yield semata sebagai acuan bukanlah langkah yang tepat untuk mengetahui valuasi sebuah saham. Alasannya, Dividend Yield tidak bisa menjamin bahwa nilai dividen yang dibayarkan pada tahun berikutnya bakal sama besarnya dengan tahun sekarang.

Bisa saja, pada tahun sekarang, sebuah saham memiliki dividend yield sebesar 7%. Namun, karena labanya menurun pada tahun berikutnya, nilainya bisa berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun