Hal itu bisa membuka "pintu" bagi kesalahan berikutnya, yang ujung-ujungnya menyebabkan penyesalan.
Mengelola emosi dalam berinvestasi itu susah-susah gampang. Saya pribadi belum bisa menguasainya dengan baik. Kadang, ketika melihat suatu saham terbang harganya, hati saya masih tergoda untuk membelinya.Â
Perasaan itu muncul karena saya khawatir melewatkan "kesempatan emas" untuk mendulang untung besar dari pasar modal.
Hal seperti itulah yang bisa menciptakan "dilema" bagi investor. Situasi menjadi serba salah. Kalau dilewatkan, "kesempatan emas" akan berlalu begitu saja.
Sementara, jika dikejar, ada risiko yang mengikutinya. Sebab, bisa saja, setelah dibeli, saham tadi malah amblas harganya. Hal-hal di luar harapan memang sering terjadi di pasar saham.
Seandainya mengalami situasi demikian, saya biasanya akan mengambil jeda beberapa menit atau beberapa jam, sebelum membikin sebuah keputusan investasi. Saya mesti meninjau ulang, menilai semuanya secara objektif, dan sebisa mungkin meredakan luapan emosi yang muncul.
Setelah semua dipikirkan masak-masak dan dilandasi keyakinan yang kuat, barulah investasi dilakukan. Hal itu memang tidak bisa sepenuhnya melenyapkan kesalahan dalam pengambilan keputusan, tetapi setidaknya dapat meminimalkan penyesalan akibat terbawa perasaan sesaat.
Kematian Sulli memang sungguh disayangkan. Masih muda. Cantik. Tenar. Sepertinya semua sudah lengkap dalam hidupnya. Namun, siapa yang menyangka bahwa di balik keberuntungan itu, ia memendam rasa depresi yang dalam.
Saat memutuskan mengakhiri hidupnya, mungkin Sulli terbawa emosi sesaat. Andaikan rehat sejenak, dan berpikir lebih matang, ia mungkin akan membatalkan niat bunuh dirinya. Kalau hal itu terjadi, ceritanya bisa lain.
Kasus yang dialami Sulli bisa menjadi pelajaran bagi siapapun, termasuk para investor. Bahwa manajemen emosi perlu dilatih sebaik mungkin. Dengan demikian, kesalahan-kesalahan yang muncul akibat terbawa emosi sesaat bisa dihindari, atau bahkan dihilangkan.
Selamat jalan Sulli.