Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

3 Jurus Hadapi "Saham Nyangkut"

17 Juli 2019   09:37 Diperbarui: 17 Juli 2019   12:57 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung memotret pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (25/9/2017).(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengeluh bahwa saham yang dibelinya sedang turun harganya. Pada minggu kemarin, ia membeli saham tadi di harga 1.800-an. Meskipun Price Earning Ratio-nya sudah di atas 20 kali, ia nekat membeli saham tadi karena pada waktu itu, harganya naik cukup signifikan. Sepertinya ada begitu banyak orang yang memborong saham tersebut sehingga harganya ikut terkerek lebih dari 4%.

Dengan harapan bahwa tren akan terus positif beberapa hari kemudian, teman saya kemudian membeli saham tersebut sekaligus. Beberapa hari berikutnya, harganya memang masih berada di "zona hijau". Sesaat ia masih bisa menikmati potensi keuntungan beberapa persen atas investasinya.

Namun, tren pasar kemudian berbalik. Jika sebelumnya beramai-ramai mengoleksi sahamnya, kini investor "kompak" menjual saham tadi. Dalam tiga hari berturut-turut, harganya jeblok, dan hal itu menyapu semua keuntungan yang bisa diperoleh teman saya. "Zona hijau" yang muncul di aplikasi sekuritasnya mendadak menjelma "zona merah"!

Teman saya pun dibuat galau atas peristiwa tadi. Maklum, ia baru menjadi investor saham, sehingga tidak begitu tahu cara mengelola "saham nyangkut" demikian.

Alih-alih terus larut dalam kesedihan seperti teman saya, investor berpengalaman justru menyambut gembira apabila saham yang dipegangnya sedang "nyangkut". Apalagi kalau saham itu punya fundamental bagus. Penurunan harga bisa diartikan sebagai kesempatan untuk membeli lebih banyak.

Sayangnya teman saya tidak menyiapkan dana cadangan untuk melakukan hal itu. Pasalnya, ia membeli saham tadi sekaligus, tidak dicicil sedikit demi sedikit.

Akibatnya, begitu harganya turun, teman saya tidak punya "amunisi" untuk menambah porsi sahamnya. Terpaksa ia "gigit jari", menunggu saham yang dibelinya berbalik ke posisi sebelumnya. Investasi yang tadinya untuk "jangka pendek" tiba-tiba berubah jadi "jangka panjang"!

Jika investor berada dalam situasi demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar lain yang bisa dilakukan. Setidaknya ada 3 jurus yang bisa dilakukan untuk mengakali "saham nyangkut".

downtrend stock (sumber: https://i2.wp.com/kalkinemedia.com)
downtrend stock (sumber: https://i2.wp.com/kalkinemedia.com)
Melakukan Averaging Down
Jurus ini hanya dipakai untuk saham-saham tertentu yang memiliki fundamental yang bagus. Caranya, investor menambah porsi saham ketika harganya jatuh cukup dalam.

Misal, saya mempunyai 10.000 lembar saham ABCD. Saham tadi dibeli di harga Rp 1.000 per lembar. Namun, akibat terjadi krisis, harganya turun jadi Rp 500.

Saya bisa saja melepas saham tersebut, tetapi karena punya fundamental yang baik, saya memutuskan tetap menggenggamnya. Lagipula, saya masih punya uang tunai untuk membeli saham tadi.

Saya bisa melakukan averaging down. Saya borong 10.000 lembar saham lagi di harga 500, sehingga total, saya punya 20.000 lembar saham dengan harga beli rata-rata 750 per lembar. Begitu harganya berbalik naik, saya bisa untung besar!

Jurus ini tak hanya bisa menyelamatkan portofolio saham yang sedang "sekarat", tetapi juga mengubah musibah menjadi berkah. Satu contoh yang bisa diambil adalah kasus DR Tan Chong Koay.

DR Tan Chong Koay adalah pendiri Pheim Asset Management, yang mengelola beragam jenis produk reksadana. Sebagai seorang praktisi yang berkecimpung di pasar modal selama 40 tahun, ia telah melewati berbagai krisis, dari yang skalanya kecil hingga besar.

Satu krisis yang terpatri dalam ingatan DR Tan ialah krisis ekonomi tahun 2008. Pada waktu itu, saat investor lain "gigit jari" lantaran portofolio sahamnya "berdarah-darah", ia justru memperoleh banyak berkah.

Semua itu bisa terjadi karena ia melakukan averaging down. Ia tahu bahwa saat terjadi krisis tadi, mayoritas saham yang dikelolanya anjlok cukup dalam. Alih-alih jual rugi seperti yang dilakukan investor lain, ia justru mempertahankan saham-saham tersebut.

DR Tan juga mujur karena perusahaan investasinya memiliki uang tunai yang berlimpah sehingga ia bisa memborong lebih banyak saham bagus yang harganya sedang didiskon. Setahun kemudian, bursa saham "mantul", dan ia pun menuai capital gain ratusan persen!

Untuk menerapkan jurus ini, investor mesti mempertimbangkan dua syarat. Pertama, saham yang dipilih mesti mempunyai fundamental yang bagus. Saham-saham jenis ini biasanya mudah "mantul" harganya setelah diterjang krisis.

Kedua, siapkan dana cadangan. Ini penting dilakukan karena dana itu bisa menjadi "amunisi" dalam situasi krisis. Bagaimana kita bisa membeli saham yang harganya rontok kalau rekening sedang kosong? Jadi, investor seyogyanya menyiapkan dana itu untuk berjaga-jaga.

"Menukar Saham"
Jurus ini umumnya dilakukan oleh Warren Buffett. Contohnya, ketika Buffett merasa bahwa investasinya di suatu saham tidak berkembang, ia tidak segan langsung menjual saham tadi, dan kemudian membeli saham lain yang lebih prospektif.

Jurus ini pula yang sering saya terapkan. Saya ingat, sewaktu ingin membeli saham yang punya prospek cerah, tetapi kebetulan sedang tidak ada uang, saya biasanya mencari saham saya yang kinerjanya sedang "redup". Saya jual saham tadi sebagian atau seluruhnya, lalu saya beli saham yang lebih potensial.

Jurus ini tak hanya bisa memangkas kerugian, tetapi juga membalikkan kerugian tadi menjadi keuntungan. Sebab, kalau saham yang baru dibeli terbukti menghasilkan cuan yang besar, kerugian yang didapat dari investasi sebelumnya bisa ditutupi.

Jurus ini dipakai hanya ketika kita sudah menemukan sebuah saham yang bagus. Jangan sampai kita salah memilih saham. Sebab, kalau kita menukar saham lama dengan saham baru, tetapi saham baru justru "minus" capital gain, bisa jadi, kerugian yang ditanggung akan berkali-kali lipat.

Melakukan Cut Loss
Jurus ini biasanya populer di kalangan trader. Sebab, para trader biasanya punya toleransi kerugian yang ditanggung.

Mereka paham bahwa berinvestasi saham itu berisiko. Investasi saham dapat menghasilkan keuntungan dengan cepat, bisa pula menyapu keuntungan tadi dalam sekejap! Jadi, bagi trader yang doyan jual-beli saham dalam jangka waktu pendek, aturan cut loss sangat penting.

Umumnya toleransi kerugian yang dipatok ialah 5-10%. Saat harga saham yang dimiliki turun hingga 4%, misalnya, sebuah "alarm" akan mulai berbunyi, dan trader yang bersangkutan akan mempertimbangkan melakukan cut loss.

Mereka sadar bahwa kalau tidak ada yang bisa memperkirakan seberapa dalam penurunan harganya. Jadi, daripada menderita kerugian yang besar akibat telat cut loss, lebih baik mereka langsung melepas saham tadi begitu harganya sudah masuk "zona merah"!

"Saham nyangkut" sejatinya jangan dianggap sebagai bencana. Sebab, di tangan yang terampil, saham tadi bisa "dipoles", hingga nilainya bisa ditingkatkan lebih tinggi daripada sebelumnya.

Dengan melaksanakan 3 jurus di atas, investor melatih keterampilan dalam mengelola "saham nyangkut". Andaikan dikelola dengan baik, kerugian yang ditanggung saat ini bisa saja berubah menjadi keuntungan pada kemudian hari.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun