Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Amanat Investasi dari Kenaikan Harga Sepotong Kerupuk

1 April 2019   10:09 Diperbarui: 1 April 2019   12:32 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kerupuk (sumber foto: ramesia.com )

Terkadang harga sepotong kerupuk bisa bikin saya termenung. Itulah yang saya alami setelah selesai bersantap di sebuah Restoran Padang beberapa waktu yang lalu. Saat datang ke kasir untuk membayar semua pesanan, saya agak tertegun mengetahui harga sepotong kerupuk. Pasalnya, kerupuk yang biasanya saya santap sejak masih kecil harganya telah naik berkali-kali lipat!

Saya ingat harga kerupuk tadi pada pertengahan tahun 90-an hanya sebesar Rp 50 per potong. Dengan harga segitu, saya bisa beli beberapa untuk "teman makan" mie ayam atau bakso.

Lampat laun, pada tahun 1998, ketika Indonesia diguncang krisis ekonomi, harganya naik 100%. Untuk menikmati sepotong kerupuk, saya mesti merogoh kocek sebesar Rp 100. Kalau dulu dengan uang segitu, saya bisa dapat dua potong kerupuk, kini saya cuma bisa beli satu saja. Tidak apa-apa. Namanya juga suka. Harga tentu tidak jadi masalah.

Pada tahun 2008, ketika saya beranjak remaja, dan dunia sedang "diselimuti" resesi global, lagi-lagi harga kerupuk tadi naik menjadi Rp 500 per potongnya. Wah! Dalam waktu hanya sepuluh tahun, kenaikan harga kerupuk ternyata bisa sampai 500%!

Sepuluh tahun kemudian, uang lama ratus rupiah bahkan tidak sanggup dibelikan sepotong kerupuk. Sebab, hampir semua restoran, termasuk tempat saya makan, kini mematok harga Rp 1.000 untuk sepotong kerupuk.

Tentu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari "meroketnya" harga kerupuk selama 20 tahun lebih tadi. Pelajarannya, kalau Anda ingin punya uang berlipat-lipat, jadilah pengusaha kerupuk. Hahahahahaha. Maaf bercanda. Bukan itu maksud saya.

Maksud saya begini. Kenaikan harga kerupuk yang terus terjadi selama bertahun-tahun boleh jadi merupakan "cermin" dari laju inflasi yang kita alami. Inflasi memang sukar sekali dibendung. Setiap tahun, kenaikan harga barang (inflasi) hampir selalu terjadi, dan kalau sudah naik, harganya susah turun.

Makanya, kalau sekarang kerupuk dihargai Rp 1.000 per potong, bisa jadi, sepuluh tahun kemudian harganya naik sekian ratus persen seperti yang sudah-sudah. Itu baru sepotong kerupuk, belum barang-barang lain.

Kalau semua diakumulasikan, kita ibarat sedang "dikepung" oleh inflasi dan kondisi inilah yang sering bikin saya resah. Betapa tidak! Kalau mayoritas harga barang terus membumbung harganya, sementara pendapatan bulanan saya "susah" ikut-ikutan naik, kondisi ekonomi saya bisa dalam bahaya. Inflasi dapat menjelma "bandit" yang diam-diam mengepung dan mengambil sedikit demi sedikit nilai simpanan saya!

Saya pun tentu tidak tinggal diam. Sebab, kalau dibiarkan, lama-lama saya bisa terjebak dalam krisis keuangan. Saya mesti melawan inflasi, dan perlawanan itu dimulai dengan mengubah mindset.

Sebelumnya saya punya mindset saving dalam mengelola pendapatan saya. Sejak dulu, saya memang hobi menabung. Sebanyak apapun uang yang saya dapat dari hasil kerja selalu disisihkan untuk ditabung. Menabung menjadi prioritas. Sebab, kalau saya memiliki tabungan, hidup saya bisa aman. Dalam situasi darurat, tabungan saya bisa menjadi penyelamat. Lebih lagi, dengan punya tabungan, saya jadi semakin percaya diri.

Setidaknya itulah isi pikiran saya sebelumnya. Makanya, setiap ada uang, saya hidup hemat, dan sebagian saya simpan di rekening. Saya "anggurkan" saja uang tadi selama berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun.

Namun, belakangan, saya belajar berinvestasi. Sebab, saya sadar kalau cuma didiamkan di bank, uang tadi jadi tidak produktif. Biarpun setiap bulan terima bunga, tabungan saya tidak banyak "beranak-pinak". Bunganya pun hanya cukup untuk sekali makan di restoran cepat saji. Hasil tabungan yang diendapkan sebulan cuma habis dalam sehari. Waduh!

Oleh karena itu, saya pun belajar "memperkerjakan" uang saya. Saya "melatih" uang saya untuk mengurus diri mereka sendiri. Sementara saya tetap bekerja seperti biasa, uang saya yang tadinya "nganggur" kini ikut-ikutan bekerja. Sekarang kami impas!

Investasi (sumber foto: torontocapitalcorp.com )
Investasi (sumber foto: torontocapitalcorp.com )

Memang bukan hal yang mudah untuk beralih mindset dari yang sebelumnya berorientasi saving ke investing. Saya sendiri butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubahnya. Saya mesti keluar dari zona nyaman agar bisa bertumbuh dan itu jelas bukan sesuatu yang gampang dilakukan.

Namun, oleh karena ingin tahu, saya tetap coba. Saya "lawan" zona nyaman tadi. Sebab, saya tahu, tidak ada perkembangan yang akan kita dapat kalau kita terus "berkubang" di zona nyaman. Zona nyaman bisa menjadi sebuah "pasir hisap" yang bikin kita susah berkembang atau, yang lebih parah, mengubur kita hidup-hidup.

Sebagai penutup, saya ingin menyimpulkan, bahwasanya amanat yang bisa dipetik dari kenaikan harga sepotong kerupuk yang sempat disinggung di awal adalah pelajaran untuk mulai mengubah mindset dari saving ke investing. 

Kalau terus mempertahankan mindset saving, kita akan sulit mengimbangi laju inflasi. Ibarat lari maraton, kita akan terus disalip dan didahului oleh inflasi dalam banyak kesempatan.

Beda ceritanya kalau kita punya mindset investing. Mindset investing akan "memaksa" kita untuk memikirkan cara untuk menumbuhkembangkan uang yang kita punya dengan cara-cara yang etis tentunya. Kalau punya mindset ini, kita akan berani berinvestasi, biarpun kita tahu tidak semua investasi akan menghasilkan keuntungan. 

Namun, seperti lirik lagu Coldplay, "But if you never try, you will naver know". Jadi, cobalah berinvestasi. Sebab, dengan belajar berinvestasi, kita berpeluang mampu mengimbangi atau bahkan mengungguli laju inflasi.

Salam. Adica Wirawan, founder of Gerairasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun