Saya diam sejenak. Sesaat perasaan diselimuti perasaan ngeri dan bimbang. Kemudian, dalam hati, saya merenung, "Ah, daripada saya kenapa-napa, lebih baik saya kasih saja."Â
Akhirnya, saya berikan nasi kotak itu kepada si pengamen, seraya berharap ia tidak berbuat macam-macam kepada saya.
Biarpun tak ada lagi obrolan di antara kami, saya sudah telanjur merasa horor terhadap pengamen tersebut. Berkali-kali saya merogoh kantong celana saya, memastikan bahwa dompet saya masih di situ, takut kalau-kalau dompet itu berpindah tangan saat saya lengah.
Saya sebetulnya tak ingin menuduh yang bukan-bukan. Namun, pikiran saya memang jelek saat itu, dan hati saya terus waswas sepanjang jalan.Â
Sikap saya menjadi sedemikian gelisah, seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi.
Biarpun pada akhirnya, pikiran "liar" itu meleset karena saya masih utuh, tidak kurang apapun, sewaktu saya tiba di Stasiun Bekasi, pengalaman itu tetap saja meninggalkan "jejak" kurang baik di pikiran saya.
Sebetulnya itu bukanlah kali pertama bertemu dengan pengamen muda seperti itu. Dulu, sewaktu saya kuliah, saya kerap menjumpainya di metromini.Â
Kadang saya agak heran dengan mereka. Sebab, mereka sering mengamen tanpa modal apapun, kecuali tepuk tangan dan sedikit "ancaman".
Sebelum bernyanyi, para pengamen yang umurnya rata-rata di bawah tiga puluh tahun itu biasanya akan kasih "intro".Â
Mereka akan bilang bahwa daripada mereka berbuat jahat, mereka lebih memilih mengamen, dan mengharapkan kemurahan hati para penumpang untuk kelangsungan hidup mereka.Â
Sambil melantunkan lagu, mereka kemudian berkeliling mengedarkan kantong plastik permen bekas, seraya berharap mendapat cukup banyak sumbangan dari orang lain.