Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama FEATURED

"Cermin" Waisak dalam Kitab Sutasoma

29 Mei 2018   14:41 Diperbarui: 26 Mei 2021   07:32 7232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kitab Sutasoma yang berada di Museum Nasional Indonesia. (Foto: Instagram @museum_nasional_indonesia via Kompas.com)

Pada Hari Waisak, saya banyak melakukan "perenungan", terutama sewaktu membaca kembali Kitab Sutasoma. Berdasarkan sejarahnya, kitab tersebut ditulis oleh penyair Mpu Tantular pada masa Raja Hayam Wuruk ketika Kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya pada abad ke-14.

Sesuai namanya, kitab Sutasoma berbentuk kakawin alias puisi epik, yang mengisahkan perjalanan Pangeran Sutasoma dalam menaklukkan lawan-lawannya untuk membebaskan rakyat dari "teror" seorang raksasa bernama Porusada.

Semua kisah itu berawal sewaktu Sutasoma terlahir ke dunia. Dalam kitab itu, Sutasoma disebut sebagai "titisan" Buddha. Makanya, kemudian Pangeran Sutasoma mendapat banyak sekali perhormatan dan kasih sayang dari lingkungan tempat tinggalnya.

Biarpun tinggal di istana yang mewah dan hidup serba berkecukupan, Pangeran Sutasoma merasa jemu. Ia tahu bahwa kehidupan di istana tidak akan membebaskannya dari samsara alias siklus hidup-mati. Makanya, ia kemudian bertekad menjalani pertapaan di puncak Semeru untuk terbebas dari "siklus" tersebut.

Namun, niat tersebut mendapat penolakan dari ayahnya, Raja Hastina. Sebab, ayahnya menginginkan supaya Pangeran Sutasoma menjadi raja berikutnya dan memimpin Kerajaan Hastina. Walaupun demikian, Pangeran Sutasoma tetap menjalankan misinya. Ia pun pergi meninggalkan kerajaan dan berjalan sendirian menuju Gunung Semeru.

Dalam perjalanan tersebut, Pangeran Sutasoma memperoleh beberapa rintangan. Sebut saja, upaya Gajawaktra, yang ingin menggagalkan tujuannya. Dengan menggunakan beragam jurus, raksasa berbentuk gajah tersebut melancarkan serangan dan mencoba membunuh pangeran.

Namun, tak ada satupun serangan itu berhasil melukai pangeran. Akhirnya, pangeran pun menunjukkan kesaktiannya, dan melancarkan serangan balik. Gajawaktra ambruk terkena serangan tersebut. Ia meringis kesakitan, dan memohon ampun kepada pangeran.

Pangeran bisa saja membunuhnya pada saat itu. Namun, ia memutuskan membukakan "pintu" ampunan untuk Gajawaktra. Akhirnya, Gajawaktra bertobat dan ikut menemani pangeran dalam perjalanan.

Kemudian, seekor naga juga datang menghadang perjalanan mereka. Naga tersebut jelas berbahaya. Sebab, mulutnya bisa menyemburkan racun yang dapat membunuh makhluk apapun.

Saat naga tersebut berupaya melakukan serangan, Gajawaktra hadir melindungi pangeran. Kedua raksasa itu bertempur dengan sengit, dan pertempuran itu akhirnya dimenangkan Gajawaktra.

kitab sutasoma (sumber: dokumentasi pribadi)
kitab sutasoma (sumber: dokumentasi pribadi)
Sewaktu Gajawaktra berniat menghabisi naga itu, pangeran mencegahnya. Sebab, sebelumnya ia mengajarkan bahwa Gajawaktra harus menghindari pembunuhan dan memancarkan kasih sayang kepada makhluk lain. Akhirnya, Gajawaktra melepaskan naga tersebut dan nyawa naga itu pun selamat. Kemudian, naga itu memutuskan mengabdi kepada Pangeran Sutasoma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun