Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menanam 1 Pohon, Menumbuhkan 1.000 Berkah

30 Januari 2018   09:44 Diperbarui: 30 Januari 2018   13:36 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pohon (sumber: dokumentasi pribadi)

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah lain, Sadiman bukanlah sosok yang "istimewa". Namun, bagi penduduk yang berdomisili di Wonogiri, khususnya di sekitar Bukit Gendol, Sadiman adalah seorang "pahlawan". Betapa tidak, berkat jerih payahnya, yang puluhan tahun menanami sendiri Bukit Gendol dengan pelbagai pohon, penduduk yang hidup di sekitar situ akhirnya terbebas dari bencana kekeringan!

Sebetulnya saya baru mengenal sosok Sadiman beberapa tahun lalu lewat sebuah acara talkshow. Pada acara tersebut, kakek yang sudah sepuh itu diminta membagikan pengalamannya sewaktu menghijaukan Bukit Gendol sejak tahun 1996.

Sadiman yang saat itu bekerja sebagai penyadap pohon pinus milik Perhutani ternyata merasa "trenyuh" melihat kondisi hutan yang semakin berkurang jumlah pohonnya. Maklum saja, penduduk sekitar sering menebang pohon sembarangan untuk dijual atau dijadikan kayu bakar.

Akibatnya, tak hanya lingkungan hijau menjadi rusak, tetapi debit air sungai yang mengaliri desa juga terus berkurang sehingga pada musim kemarau, warga mengalami "krisis" air untuk konsumsi dan irigasi, sementara pada musim hujan, sungai meluap menimbulkan bencana banjir.

Sadiman merasa sedih menyaksikan peristiwa itu. Sebab, sewaktu masih kecil, ia sering bermain di sekitar sungai dan merasakan sendiri kesejukan air yang membasuh kulitnya. Pada tahun 1996, kondisinya berubah total dan penduduk terancam mengalami bencana berkepanjangan.

Makanya, kemudian timbul sebuah inisiatif dari Sadiman untuk menanami lahan-lahan yang gundul dengan pohon beringin. Pasalnya, pohon beringin punya kemampuan "mengikat" air tanah. Setelah "mengantongi" izin dari Perhutani, hampir setiap hari Sadiman keluar-masuk hutan, membawa cangkul dan bibit pohon. Kemudian, sedikit demi sedikit ia menanami lahan tersebut dengan pohon.

foto sadiman bekerja sendirian menanami pohon (sumber: http://images.solopos.com)
foto sadiman bekerja sendirian menanami pohon (sumber: http://images.solopos.com)
Biarpun bekerja sendirian dan bermodalkan uang dari kantong sendiri, Sadiman pantang menyerah, terutama sewaktu banyak penduduk, yang saat itu, mencibir, meledek, dan menganggapnya kurang waras karena terus melakukan pekerjaan yang "sia-sia". Kemudian ada pula oknum-oknum, yang kurang senang dengan aksinya, yang tega menghancurkan bibit pohon yang belum lama ditanamnya.

Anehnya, Sadiman enggan membenci dan mendendam. Alih-alih marah, ia justru masuk ke hutan lagi, mengganti bibit pohon yang dirusak dengan yang baru! Bukankah itu sebuah wujud kesabaran yang luar biasa?

Setelah lebih dari dua puluh tahun, pohon-pohon yang ditanaminya bertumbuh besar. Lahan-lahan yang sebelumnya gersang dan tandus berubah menjadi hijau segar. Kondisi hutan yang dijumpai Sadiman sewaktu kecil telah kembali. Berkat upayanya, debit air sungai yang sebelumnya minim kini berlimpah ruah, mengaliri sawah-sawah, dan menghidupi desa.

Biarpun telah berjasa besar bagi ratusan penduduk desa, Sadiman tetap menjadi pribadi yang sederhana. Baginya, kebahagiaan bukanlah soal uang, kendaraan, atau properti. Kebahagiaan versi Sadiman ialah saat ia masih bisa terus menanam pohon, menyelamatkan lingkungan, dan mengalirkan keberkahan kepada orang lain.

sadiman, penyelamat hutan yang bersahaja (sumber: http://news.netmedia.co.id)
sadiman, penyelamat hutan yang bersahaja (sumber: http://news.netmedia.co.id)
Sewaktu saya menulis kisah Sadiman di atas, hati saya "tergetar". Bagi saya, dedikasi tanpa pamrih seperti itu sangatlah inspiratif. Kalau kita memandangnya lewat "kacamata" duniawi, semua yang diperbuat Sadiman nyaris tidak akan menimbulkan keuntungan apapun.

Namun, lewat perspektif spiritual, tindakannya menghasilkan jasa kebajikan yang luar besar! Sebab, selama setiap pohon yang ditanaminya menghasilkan berkah untuk banyak orang, jasa pahalanya akan terus mengaliri hidupnya. Selama debit air terus menyusuri sungai dari hutan yang dipeliharanya dan "menghapus" dahaga penduduk, selama itu pula jasa kebajikannya akan terus berbuah. Luar biasa bukan?

Makanya, apabila kita menanam satu pohon saja untuk kepentingan banyak orang, sebetulnya kita bisa menghasilkan seribu jasa kebajikan. Hal itulah yang kemudian mendasari saya sewaktu diminta menanam pohon di kawasan Bandung beberapa waktu lalu.

Bersama beberapa teman, saya mengunjungi sebuah hutan untuk melakukan penghijauan. Lantaran lokasi reboisasi terletak agak ke dalam, kami memarkirkan mobil di tepi jalan, dan kemudian lanjut berjalan kaki ke situ. Lumayan kami bisa berolahraga sekaligus menikmati alam hijau yang hijau. Makanya, bagi saya, kegiatan sosial itu tak hanya menjadi "ladang berkah", tetapi juga sarana olahraga yang baik.

lokasi penghijauan di kawasan bandung (sumber: dokumentrasi pribadi)
lokasi penghijauan di kawasan bandung (sumber: dokumentrasi pribadi)
Setelah mendapat arahan, kami berkelompok mencari lahan untuk ditanami. Ada beragam jenis pohon yang ditanam. Makanya, selain pohon biasa yang kurang diketahui jenisnya, terdapat pula pohon buah, seperti jeruk, yang ikut ditanam.

Biarpun sudah diatur sedemikian rupa, kegiatan itu bukannya tanpa halangan. Kondisi tanah yang basah dan berlumpur akibat diguyur hujan semalam menjadi tantangan tersendiri. Makanya, kami agak waswas menyusuri lahan, takut terjatuh. Belum lagi hewan-hewan lain, seperti ular dan laba-laba, yang bisa mengganggu aktivitas kami.

sejumlah kelompok tersebar untuk penanaman (sumber: dokumentasi pribadi)
sejumlah kelompok tersebar untuk penanaman (sumber: dokumentasi pribadi)
Namun demikian, untungnya, semua persoalan itu dapat diatasi. Setelah hampir dua jam sibuk menanami pohon, jelang pukul 12 siang, kami beristirahat sekaligus menikmati santap siang.

Pada saat itulah, sambil memandangi lahan yang "digarap", saya bisa membayangkan kesulitan yang dialami Sadiman, yang nekat masuk hutan seorang diri untuk menghijaukan lingkungan. Kami yang bekerja bersama-sama saja sudah sedemikian lelah. Apalagi ia yang bekerja sendirian dan terus melakukannya setiap hari.

Juga, pohon-pohon yang kami tanam masih kecil, entah berapa tahun lagi bisa bertumbuh besar dan memberi manfaat bagi banyak orang, seperti pohon-pohon yang dirawat Sadiman. Rasanya ingin melihat pohon-pohon itu cepat berkembang. Namun, sepertinya kami harus belajar bersabar kepada Sadiman, yang terus setia menanam dan merawat pohon-pohonnya hingga tumbuh meneduhkan lingkungan di sekitarnya.

bibit pohon yang kami tanam, yang entah kapan akan menjadi dewasa (sumber: dokumentasi pribadi)
bibit pohon yang kami tanam, yang entah kapan akan menjadi dewasa (sumber: dokumentasi pribadi)
Biarpun sudah renta, Sadiman terus berdedikasi menanam pohon tanpa risau dengan kata-kata miring dari orang di sekitarnya. "Saya tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja sebenarnya saya sudah cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi," katanya.

Salam.

Adica Wirawan

Referensi:  "Belajar Kerja, Kerja, Kerja, dan Ikhlas dari Mbah Sadiman Pahlawan Penghijauan", detik.com, diakses pada tanggal 30 Januari 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun