Bersyukur dan berbanggalah warga Sumatra Barat atas keberhasilan provinsi ini meraih predikat Wahana Tata Nugraha (WTN) Wiratama, yang pialanya langsung diserahkan Wapres Jusuf Kalla kepada Gubernur Irwan Prayitno, Selasa lalu (31/1) di Istana Wapres, di Jakarta.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 11 provinsi yang berhasil meraih piala bergengsi itu, termasuk Sumbar, berkat ketertiban masyarakatnya dalam berlalulintas.
Beriringan dengan prestasi Provinsi Sumbar itu, sebanyak tujuh kota dan kabupaten juga meraih prestasi Wahana Tata Nugraha, yaitu Pesisir Selatan, Sawahlunto, Bukittinggi, Kota Solok, Payakumbuh, Pariaman, dan Padang. Khusus Solok Selatan, prestasinya baru sebatas 'plakat' dan sertifikat WTN. Untuk Bupati dan Walikota yang berhasil meraih prestasi WTN, pialanya diserahkan Menteri Perhubungan, Budi Karya.
Banyaknya prestasi Sumatra Barat yang berhasil diraih menandakan negeri ini semakin membanggakan. Namun, kita harus mengakui bahwa masih banyak yang perlu dibenahi untuk lebih baiknya negeri ini kita ‘wariskan’ kepada anak cucu kelak untuk kesejahteraan mereka di masa yang akan datang.
Misalnya saja dalam pembenahan dan memfungsikan terminal angkutan kota, kita masih perlu kerja keras. Dari sekian banyak terminal, yang terbilang maksimal baru Aur Kuning di Bukittinggi. Semakin hari, pelayanan terminal itu semakin baik. Faktor utamanya adalah keberanian Walikota Ramlan Nurmatias bersama stafnya terus bekerja keras mengatur pengguna terminal. Sementara, banyak terminal lainnya yang sudah bermiliar- miliar rupiah menyerap dana, kondisinya masih tetap memprihatinkan.
Tidak perlu disebutkan satu-persatu 'terminal sunyi' itu. Hanya saja, peran dan kerja semua pihak selalu dibutuhkan demi berfungsinya terminal-terminal itu dengan baik. Ironisnya, yang populer sekarang adalah 'terminal liar' yang tumbuh subur di banyak kota.
Kita masih belum membicarakan korban lalulintas yang terjadi di berbagai kawasan di daerah ini. Tiap hari dan setiap saat, puluhan orang meregang nyawa., Korban luka berat dan luka ringan memenuhi rumah sakit. Jangan disebut lagi bus, truk, dan kendaraan pribadi yang bertabrakan di jalan raya, masuk jurang di jalan negara Sitinjau Laut, Lurah Berangin Pasaman, serta di lokasi berbahaya lainnya.
Pengendara sepeda motor yang hanya pakai helm karena takut dengan polisi masih cukup banyak. Semakin jauh dari jangkauan polisi, semakin berjadi-jadi pelanggaran lalulintas. Memprihatinkan memang. Apa boleh buat, kesadaran itu benar yang tergolong rendah, dari dulu sampai sekarang. Entah sampai kapan kesadaran anak negeri ini tumbuh dengan sendirinya secara maksimal, wallahualam.
Berlanjut persoalan ke jurang-jurang yang menganga lebar di sepanjang Sitinjau laut. Sudah ratusan kendaraan 'garumbuih-tumbuih' terjun di lokasi 'el maut' itu. Tidak terhitung lagi kerugian materil menimpa pengusaha kendaraan, termasuk nyawa yang melayang. Begitu juga di jalan negara kawasan Lembah Anai. Luar biasa banyaknya memakan korban harta dan nyawa dengan peristiwa yang terjadi hampir setiap saat.
Kapan lokasi rawan kecelakaan itu dibenahi? Kapan anak-anak muda dan dewasa patuh berlalulintas? Kapan terminal umum berfungsi maksimal? Kapan terminal liar akan habis? Kapan travel liar bisa dihabisi? Kapan angkutan kota memberikan pelayanan baik pada penumpang? Kapan musik keras di angkutan kota bisa diakhiri? Kapan kemacetan berlalulintas lenyap dari muka jalan? Kapan jalan negara 'kawasan Kotobaru Tanahdatar' tidak lagi membuat warga menggerutu dari pagi sampai siang tiap Senin karena kemacetan lantaran jalan berubah fungsi jadi pasar?
Sudah silih berganti Gubernur Sumbar memerintah dan tiap mereka terus berupaya keras mengatasi kemacetan. Nyatanya, sampai kini hal itu tak semudah membalik telapak tangan.