Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi Pemerintahan Terendah Sedang Bergulir di Sumatra Barat

8 April 2016   13:54 Diperbarui: 8 April 2016   13:57 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu, Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat sudah dimekarkan, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979. Sehingga, pemerintahan terbawah adalah desa. Namun, sejak beberapa tahun lalu, ‘Nagari’ difungsikan kembali sampai sekarang di Sumatra Barat.

Di saat sudah terasa enaknya bagi daerah ini ber-pemerintahan nagari, muncul lagi wacana menjadikan desa atau jorong sebagai pemerintahan terendah atau nagari dimekarkan. Gubernur Sumatra Barat, Irwan Prayitno, sudah memberi aba-aba bahwa pilihan terbaik diserahkan kepada masyarakat. Apaklah nagari tetap dipertahankan sebagai pemerintahan terendah, atau nagari dimekarkan, atau jorong dan desa dijadikan sebagai pemerintahan terendah.

Sekarang tampaknya reformasi pemerintahan terendah di Sumatra Barat sedang bergulir. Jelas, kearifan dan kekompakan pemuka masyarakat sangat menentukan.

Jika dilihat keuntungannya berkaitan dengan percepatan pembangunan, mungkin saja yang terbaik pemerintahan terendah adalah desa. Tidak perlu nagari dimekarkan, ibarat 'kue talam' yang bisa dibagi-bagi sesuai dengan selera kesepakatan.

Sedangkan suara dari DPRD Sumatra Barat sudah jelas bahwa pemekaran nagari harus bulat. Semua tokoh atau anak nagari harus sepakat dan tidak diharapkan munculnya perpecahan akibat program pemekaran pemerintahan di tingkat bawah tersebut.

Bertitik tolak dari pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tengah kita sukseskan saat ini, kecenderungan pemerintahan terendah mungkin yang terbaik adalah desa. Sebab, masing-masing desa yang diakui sebagai pemerintahan terendah sudah menikmati dana pembangunan tiap tahun (Rp1 miliar). Daerah di berbagai provinsi di Indonesia sudah menikmati dana cukup banyak itu untuk mempercepat beragam program fisik demi kesejahteraan rakyatnya.

Di Sumatra Barat, beruntunglah nagari yang dimekarkan, seperti di Pesisir Selatan, begitu juga pemerintahan desa di Pariaman. Semoga aman-aman saja. Tidak ada yang 'berkasus' di mana tokohnya terpaksa ‘tidur’ di penjara. Pokoknya, pertanggungjawaban keuangan harus berjelas-jelas.

Kalaulah 'mata' tertuju pada banyaknya uang, jelas pemerintahan desa yang pantas. Namun, jangan sampai pula nagari dihapuskan. Sebab bernagari, bermamak, beranak, dan berkemanakan, serta berharta dan berpusaka, adalah tradisi turun-temurun di Ranah Minang sejak 'doeloe'-nya yang tidak mungkin bisa dihilangkan begitu saja.

Di sinilah perlunya duduk bersama dengan penuh saling pengertian sesama tokoh masyarakat. Uang kita butuh. Namun, tradisi berkampung berhalaman, bermamak-berkemenakan, berharta-berpusaka tidak boleh hilang dari kekerabatan budaya Minangkabau.

Pemerintahan desa -- kalau itu yang disepakati -- tidak boleh memecah adat dan budaya. Ninik mamak, kerapatan adat nagari, dengan segala perangkat dan turunannya mutlak harus tetap ada.
Bisa saja disepakati, pemerintahan desa khusus mengolah program fisik. Sementara urusan berkaitan dengan harta pusaka, budaya, atau yang sejenis dengan itu adalah tugas utama pemerintahan nagari. Yang penting adalah kesepakatan cendekiawan nagari, baik di kampung atau di perantauan dalam berkontribusi pemikiran untuk kemajuan kampung halaman masing-masing.

Sebaliknya, jika kita tetap kompak mempertahankan nagari sebagai pemerintahan terendah, juga tidak apa. Yang penting dimaklumi, apapun coraknya sistem pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, percayalah, tidak serta-merta bisa diseragamkan di Indonesia karena karakter masyarakatnya juga tidak sama. Jawa dengan Sumatra pasti ada bedanya. Begitu juga di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, dan daerah lainnya. Serahkan saja pada tokoh setempat karena merekalah yang paling mengerti dengan daerahnya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun