Mohon tunggu...
Adib Dian Mahmudi
Adib Dian Mahmudi Mohon Tunggu... -

a part of the darkness which gave birth to light

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka di Tanah Sengketa

31 Agustus 2017   12:15 Diperbarui: 31 Agustus 2017   12:32 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Petani Lereng Gunung Kelud menuntut redistribusi tanah. (Dokumentasi Pribadi)

Pada beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo kembali membagikan 2.850 sertifikat hak atas tanah di Gedung New Sari Utama Convention Hall, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember. Sebelumnya, agenda serupa juga digelar di Lapangan Rampal Kota Malang pada hari Rabu (24 Mei 2017). Pada kesempatan ini, Presiden Jokowi membagikan 10.038 sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat Jawa Timur. Pemerintah menargetkan akan membagikan 5 juta sertifikat di tingkat nasional pada tahun 2017, 7 juta sertifikat di tahun 2018, dan 9 juta sertifikat di tahun 2019.

Reforma agraria memang sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi. Mandat penuh ini diberikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan tanah dan tata ruang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Sebanyak 9 juta hektar tanah ditegaskan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) oleh pemerintah. Luasan tersebut dibagi dalam 2 skema pemberian, yaitu skema legalisasi aset (4,5 juta hektar) dan skema redistribusi tanah (4,5 juta hektar).

Namun dalam perjalanannya, program legalisasi aset melalui skema pemberian tanah transmigrasi yang belum bersertifikat (0,6 juta hektar) dan PRONA (3,9 juta hektar) lebih mendominasi pelaksanaan reforma agraria pemerintah. Program redistribusi tanah melalui skema pemberian tanah bekas Hak Guna Usaha dan tanah terlantar (0,4 juta hektar) relatif berjalan di tempat. Sedangkan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta hektar), hanya berlaku untuk semua kawasan di luar Pulau Jawa.

Sengketa Agraria di Indonesia

Sejak zaman Reformasi 1998, sengketa agraria di Indonesia belum mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Sengketa agraria ini merujuk pada pertentangan klaim mengenai siapa yang berhak atas akses tanah, antara kelompok rakyat dengan lembaga pemerintah atau badan usaha yang bergerak di bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya. Penyebab munculnya sengketa agraria pun bermacam-macam, mulai dari sengketa-sengketa lama warisan zaman Belanda sampai sengketa baru yang muncul karena surat keputusan pemerintah yang memberi perizinan pada badan usaha tertentu dengan memasukkan tanah kepunyaan akses rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria atau pembangunan infrastruktur.

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menjadi salah satu contoh penyebab munculnya sengketa agraria. Melalui undang-undang tersebut, pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum menjadi semakin marak. Padahal, maraknya pembangunan juga turut menyemarakkan jumlah konflik agraria di daerah. Hasil yang paling terlihat salah satunya adalah dampak demografis, dimana perubahan demografis yang terjadi akan memunculkan perbedaan kelas antara yang memperoleh manfaat dan yang tidak memperoleh manfaat, atau lebih tepatnya tersisih dari pembangunan. Mereka yang tersisih dari pembangunan biasanya masyarakat setempat, petani gurem, pekebun, pemilik tambak kecil, fakir-miskin, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, sengketa agraria bersifat struktural. Semakin lama sengketa tersebut, semakin menciptakan konsentrasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah pada satu pihak, dan semakin menghilangkan hak atau akses agraria pada pihak rakyat. Situasi agraria yang timpang tersebut justru menurunkan produktivitas dan kesejahteraan rakyat, terutama petani sebagai kelompok yang hidupnya berkaitan langsung dengan tanah. Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah turut berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan.

Data Ombudsman RI menunjukkan terdapat 450 sengketa agraria di sepanjang tahun 2016 dengan luas area sengketa mencapai 2.829.255 hektar. Ombudsman RI mencatat adanya dugaan maladministrasi pertanahan yang mendasari dan turut menambah jumlah sengketa tersebut. Bentuk maladministrasi yang paling sering terjadi selama tahun 2016 berupa penundaan berlarut (32,6%), penyalahgunaan wewenang (17,7%), penyimpangan prosedur (16,0%), dan tidak memberikan pelayanan (15,7%). Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mencatat terdapat 450 sengketa agraria di tahun 2016 dengan luas area sengketa mencapai 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 Kepala Keluarga. Provinsi penyumbang sengketa agraria tertinggi secara berturut-turut adalah Riau (44 konflik), Jawa Timur (43 konflik), Jawa Barat (38 konflik), dan Sumatera Utara (36 konflik).

Merdeka Dari Sengketa

Sengketa agraria yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu masalah besar yang sudah bersifat kronis. Pada dasarnya, kondisi tersebut tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi semata. Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat semakin terpinggirkan dan kehilangan akses pada tanah. Padahal, sengketa agraria sesungguhnya tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung, tetapi juga berdampak pada program pemerintah seperti program ketahanan pangan, perumahan rakyat, pengentasan kemiskinan, dan lingkungan hidup.

Pelaksanaan reforma agraria bertujuan memperbaiki keadaan sosial-ekonomi dan sosial-politik rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Namun seiring perkembangan situasi, kemudian disadari bahwa terdapat beberapa kejadian seperti petani yang telah memperoleh tanah kemudian melepaskan kembali tanahnya. Hal ini disebabkan petani tidak memiliki akses pada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya, keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun