Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mencintai kehidupan, menikmati kekinian. Itu Sudah.\r\nblog fatherdontcry.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sistem salah: Masih Perlukah Sekolah?

10 Agustus 2015   22:25 Diperbarui: 10 Agustus 2015   22:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


“You are limited only by the passion and imagination, daring to be honest and open in all likelihood.......”
:Kathleen Flinn

 Jangankan membangun passion and imagination, menampik tuduhan sebagai tempat (berbahaya) bisnis saja sudah susah. Masyarakat sudah lama mem-bebek. Jangan ngimpi kualitas sekolah kita menyamai sekolah-sekolah di Finlandia, Jepang atau Korea jika kekerasan Ospek saja masih menjadi Koenjie! Kegiatan pengenalan dan penegakan disiplin saja masih di salah pahami.

Tak perlu menunggu lama setelah Mendikbud Anies Baswedan mencak-mecak di SMA 2 Tangerang saat melihat proses masa orientasi peserta didik baru (MOPDB) yang dianggapnya cenderung abuse of power, di Riau, satu dari sekian peserta MOPDB, Evan Christoper Situmorang dinyatakan meninggal dunia karena aktifitas tersebut.

Masih seringnya sekolah melakukan pendidikan disiplin yang tak perlu - baik penghukuman fisik maupun psikologis  - padahal: disiplin tak bisa diraih melalui jalan menakuti, intimidasi, mem-bully - untuk kepatuhan buta - terlalu menuntut yang tak masuk akal dan lain sebagainya. Tapi kok masih terus saja. Sekolah kok makin berbahaya.

Itu baru sekuku ireng karut sekolah kita, masih teramat banyak Bung dan Nona yang mengeluhkan mutu pendidikan di negeri ini. Mulai dari mencurigakkannya sistem evaluasi, besaran anggaran pendidikan yang tidak diimbangi dengan hasil, yang kemudian memunculkan pertanyaan, "masih perlukah bersekolah?"

3 hal sulitnya kita mengadili yang bersalah

“Loh iya...?!”
Pertama, korban dari gagalnya sistem pendidikan itu tidak jelas “siapa Anda?!”. Oke, sebut saja korbanya adalah anak bangsa. Lah, trus, anak bangsa itu siapa? Ya kita semua. Apakah kita merasa menjadi korban gagalnya sistem pendidikan? Kita sendiri tidak merasa, sehingga kita bingung mau melawan siapa dan untuk apa. Beda dengan nyolong HP atau celana tetangga, pelakunya jelas, korbannya juga jelas, lalu kita merasa jelas untuk memukulinya. Lebih sulit juga daripada tangkap koruptor. Wong gagalanya pendidikan adalah urusan masadepan bangsa. Kapan masadepan itu? Yo nunggu datangnya Alien dan Uvo menyerang bumi paling.

Ok Bung Menteri, kalaupun iya pelakunya ketangkap basah, apakah kita bisa memukuli pelaku penggagal sistem pendidikan? Sulit. Apalagi mereka adalah orang-orang yang paling sering membantu urusan-urusan anak kita yang gemar mencari bocoran itu, mereka yang banting tulang merekayasa demi lulus seratus persen itu. Apa ya kita tega mukuli orang-orang yang bantu kita? Bisa kualat kita.

Kedua, terkait dengan yang pertama, karena kita tidak menganggapnya nyata maka kita sadar atau tidak, telah membiasakan melibatkan diri dengan hal-hal yang dapat melanggengkan bobroknya pendidikan kita. Contohnya, pura-pura gak tahu, terbiasa nyogok tur disogok, memanipulasi banyak urusan, dls. Bukankah itu kita! “Kamu aja keles...”

Ketiga, terkait dengan yang pertama dan kedua, sumber hukum terdekat kita, sebut saja agama malah sibuk ngurusi yang gak fundamental – Rahmatan lil alamin, mencerdaskan tur tentrem. Agama, maksud saya agama di tangan para tokoh agama, lebih sibuk dan galak pada soal-soal terkait dengan ibadah harian kita. Sibuk men-Syari-kan BPJS, hotel dan properti. Tapi amleng untuk anak bangsa.

Mungkin Anda pernah dikudang Mboke begini, “Sekolah yang rajin ben pinter yaa Le......” Pinter itu apa? Kalau pintar itu akibat ‘prilaku’, ya sekeren apapun titelnya nanti kalau prilakunya brengsek ya orang gakkan pernah respek . Ya bukan salah Simbok mpean juga ndungo begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun