Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Merah Putih yang Tak Boleh Disentuh

29 Mei 2025   10:29 Diperbarui: 29 Mei 2025   10:38 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama itu sendiri sudah membuat kita sungkan. "Koperasi Merah Putih"---sebuah bunyi yang menampar sopan santun demokrasi, karena siapalah yang berani menyoal merah putih, bendera itu, lambang itu, semangat itu. 

Sekali seseorang menyodorkan program bernama Merah Putih, maka seperti ada semacam pagar listrik yang membentang: jangan kritik ini, nanti kau disangka anti-NKRI, pembenci desa, atau lebih buruk---komprador.

Padahal urusannya bukan bendera. Urusannya utang. Dan bukan sembarang utang: Rp5 miliar per desa, disalurkan ke koperasi yang bahkan belum berdiri, belum menggelar rapat anggota, belum punya laporan keuangan, belum diketahui siapa ketua dan bendaharanya. 

Koperasi jenis baru ini dirancang tak seperti koperasi biasa. Ia tidak lahir dari niat warga, tidak tumbuh dari kebutuhan kolektif. Ia dijatuhkan dari langit oleh pemerintah pusat dan disambut oleh aparat desa dengan pandangan bingung, senyum malu-malu, dan catatan mental: "kalau ini proyek pusat, ya jalani saja dulu."

Kita sebetulnya tahu ini bukan koperasi dalam pengertian aslinya. Ini adalah koperasi dalam pengertian selebar mungkin, sampai-sampai makna asalnya tumpah ke jalan. Ia bukan hasil kesepakatan bersama warga, melainkan hasil musyawarah terbatas antar-menteri. 

Ia bukan perwujudan gotong-royong ekonomi rakyat, tapi lebih mirip proyek lintas lembaga yang dirancang dengan blueprint birokrasi: dari kantor Jakarta ke seragam lurah.

Dalam hal ini, koperasi sebagai gagasan dikhianati dua kali. Pertama, karena ia dijadikan instrumen program nasional yang tidak partisipatif. Kedua, karena ia dibebani utang sejak mula. Coba pikir: koperasi yang sehat butuh waktu. Ia mesti dibina, dicoba, gagal sedikit, lalu dicoba ulang. 

Tapi koperasi yang ini sejak awal sudah dihitung dengan bunga pinjaman. Belum berdiri sudah harus bayar cicilan. Ini bukan koperasi. Ini semacam badan usaha dadakan yang diberi bendera dan utang, dan kalau gagal, akan dikambinghitamkan karena "pengelolaan di bawah yang buruk."

Mentalitas seperti ini sangat khas. Kita menyukai program besar, tetapi jarang bertanya siapa yang akan membersihkan sisa-sisanya. Kita menggilai narasi-narasi nasional, tetapi enggan memperhatikan kebutuhan konkret di tingkat lokal. Di desa, orang masih urus pupuk, harga gabah, dan cara bayar sekolah anak. 

Sementara di pusat, elite bicara "penguatan ekonomi desa berbasis koperasi nasionalis." Padahal apa pula artinya koperasi nasionalis? Bukankah koperasi itu bentuk ekonomi yang justru membumi, tidak muluk, dan bergerak dari bawah?

Kita ini memang sering keliru meletakkan semangat. Kita pikir nasionalisme itu urusan bendera dan nama. Padahal nasionalisme yang sejati justru lahir dari tanggung jawab yang tidak kentara---semisal memastikan setiap koperasi yang ada bisa bertahan tanpa diganggu regulasi tumpang tindih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun