Zaman makin maju, mesin makin canggih, otak manusia makin terhibur, dan jempol makin sibuk. Tapi di tengah semua itu, jurnalisme---yang dulu berdiri gagah sebagai penjaga warasnya demokrasi---malah terengah-engah. Ibarat orang tua yang dikejar tren TikTok, ia tertinggal. Sementara Google dan YouTube sibuk menghitung rupiah dari iklan digital, para wartawan duduk di sudut ruangan, menggenggam kopi dingin dan harapan yang makin tipis.
Diperkirakan pada 2025, pendapatan iklan digital global akan menembus Rp 3.200 triliun. Angka yang kalau diubah jadi receh seratusan bisa membanjiri seluruh permukaan pulau Jawa. Tapi dari lautan uang itu, media independen hanya kebagian sisa tetesan. Ibarat pesta mewah, mereka duduk di luar pagar, menunggu tulang ayam yang tak kunjung dilempar.
UNESCO---lembaga yang masih percaya bahwa jurnalisme penting---menyebut jurnalisme sebagai barang publik. Sama seperti udara, cahaya matahari, dan sinyal Wi-Fi gratis di ruang tunggu stasiun. Tapi coba tanyakan pada wartawan yang baru saja kehilangan pekerjaannya karena media tempat ia bekerja gulung tikar. Publik mungkin bisa mengakses berita, tapi siapa yang masih mau menuliskannya dengan serius kalau gajinya telat tiga bulan?
Model Bisnis: Kalau Tak Ambruk, Ya Nyaris
Dulu, hidup media itu sederhana. Cetak koran pagi, pasang iklan, laku keras. Lalu sore harinya duduk di warung, makan gorengan sambil menandai berita esok hari. Sekarang, semua pindah ke internet. Tapi yang panen duitnya bukan redaksi, melainkan Google dan Facebook. Mereka seperti tuan tanah di era digital, menyewakan lahan dengan harga tinggi kepada petani berita yang makin kehabisan pupuk.
Contohlah Los Angeles Times, media besar dengan sejarah panjang. Tahun 2024, mereka rugi Rp 800 miliar. Dampaknya, puluhan wartawan kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, pasar iklan digital diprediksi menyentuh Rp 52 triliun pada 2025. Tapi jangan senang dulu, karena sebagian besar uang itu tidak mampir ke media lokal. Ia meluncur ke luar negeri, seperti migrasi burung yang tak pernah kembali.
Media dalam negeri pun akhirnya bertumpu pada anggaran iklan pemerintah. Tapi anggaran ini seperti angin laut---tak tentu arah, kadang ada, kadang hilang. Dan ketika anggaran itu tak turun, maka yang turun adalah kepala redaksi ke ruang HRD, menyampaikan daftar nama yang harus dirumahkan.
Demokrasi Butuh Wartawan, Bukan Hanya Like dan Share
Jurnalis itu seperti petani: bekerja dalam sunyi, hasilnya dinikmati semua. Mereka bukan selebriti, tapi tanpa mereka, berita akan jadi kumpulan rumor yang dibungkus template clickbait. Siapa yang akan duduk lama di persidangan korupsi kalau bukan jurnalis? Siapa yang mau keliling kampung untuk menggali suara warga selain mereka?
UNESCO mencatat 85% penduduk dunia kini hidup dalam negara dengan kebebasan pers yang menurun. Dan di negeri kita, dalam dua tahun terakhir, sekitar 1.200 wartawan kehilangan pekerjaan. Banyak yang akhirnya banting setir: jadi ojek online, jualan makanan beku, bahkan ikut jadi tim kampanye politisi yang dulu mereka kritik.
Inilah wajah baru jurnalisme: dari penjaga kejujuran, menjadi operator ponsel. Dunia berputar cepat, dan jurnalis dipaksa ikut menari meski musiknya tak mereka kenal.
Redaksi yang Sunyi, Pikiran yang Penuh Beban
Dulu redaksi itu ramai. Ada yang debat soal judul, ada yang curhat soal narasumber yang PHP, ada pula yang sibuk rebutan colokan. Sekarang? Suara keyboard mendominasi. Kursi kosong jadi pemandangan biasa. Beban kerja menggila, tapi tenaga berkurang separuh.
Mereka yang masih bertahan seringkali mengalami "survivor's guilt". Rasa bersalah karena tetap di sana sementara teman-temannya dirumahkan. Belum lagi tekanan mental dari meliput bencana, konflik, dan tragedi. Wartawan bukan robot. Tapi tidak semua redaksi punya anggaran untuk konseling. Jadi mereka mengobati luka dengan rokok dan lelucon gelap.