Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Kita Sering Membandingkan Hidup Kita dengan Orang Lain, Padahal Kita Tahu itu Tidak Sehat?

7 Februari 2025   23:10 Diperbarui: 7 Februari 2025   23:29 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Pagi ini, saya berdiri di depan cermin, menghabiskan 20 menit memastikan rambut saya tidak terlihat seperti sarang burung.

Sepertinya berhasil---sampai saya membuka Instagram. Di sana, seorang teman baru saja mengunggah foto liburannya di Bali. Kulitnya bersinar, latar belakang pantainya sempurna, dan caption-nya berbunyi: "Hidup ini sederhana, kok."

Tiba-tiba, rambut saya yang tadi sudah "cukup rapi" terasa seperti jerami yang diinjak kuda.

Kita semua pernah mengalami ini. Kita merasa baik-baik saja---sampai melihat hidup orang lain, dan mendadak, kehidupan kita sendiri terasa seperti secarik kertas kusut. Pertanyaannya: mengapa? Mengapa otak kita begitu terlatih untuk membandingkan, meski kita tahu itu seperti minum air laut---semakin banyak, semakin haus?

Kita Adalah Mesin Pembanding

Sejak kecil, kita dibentuk untuk mengukur diri. Nilai rapor dibandingkan dengan teman sekelas. Tinggi badan dicatat di dinding setiap tahun. Di dalam keluarga, pertanyaan seperti, "Kapan lulus?" atau "Kapan nikah?" sering kali hanyalah cara terselubung untuk berkata: "Kamu tertinggal."

Tapi ini bukan sekadar produk budaya. Ilmu psikologi evolusi menunjukkan bahwa nenek moyang kita bertahan hidup dengan cara membandingkan diri. Jika tetangga gua menemukan cara membuat api lebih cepat, kita harus ikut mengejar---kalau tidak, kita akan kalah bersaing.

Masalahnya, otak kita masih menggunakan software zaman batu ini di era TikTok. Perbandingan bukan lagi soal bertahan hidup, tapi tentang siapa yang tampak lebih bahagia.

Di Moldova---negara yang disebut sebagai salah satu tempat "paling tidak bahagia" oleh Eric Weiner---orang-orang jarang pamer kemewahan. Mereka sibuk bertahan hidup, sehingga tekanan sosial untuk terlihat sukses jauh lebih rendah. Sebaliknya, di Qatar, negara kaya minyak, kebahagiaan sering kali direduksi menjadi angka di rekening bank---dan rasa tidak puas tetap ada.

Mungkin kebahagiaan memang tidak sesederhana yang dikatakan teman saya di Instagram.

Media Sosial: Gudang Senjata untuk Membandingkan Diri

Di tahun 1990-an, jika tetangga membeli mobil baru, kita mungkin hanya melihatnya sekali sehari. Sekarang? Dalam 10 menit di media sosial, kita bisa melihat 10 mobil mewah, 5 liburan ke Eropa, dan 3 pesta pernikahan kelas sultan.

Algoritma dirancang untuk membanjiri kita dengan versi terbaik dari hidup orang lain. Bukan karena dunia ini penuh dengan orang kaya dan bahagia, tetapi karena konten semacam itu menghasilkan lebih banyak engagement.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun