Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menitip Cerita pada Tembok Derita

5 Desember 2016   13:47 Diperbarui: 10 Desember 2016   12:32 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: fikrianiarmadita.wordpress.com

Di dalam perspektif berbagai manusia, tembok bukan sekadar bidang pembentuk ruang. Bukan juga sekadar julangan batu-bata atau beton yang diperuntukkan sebagai separator. Maknanya lebih dari itu. Dalam sejarah saja, ada beberapa tembok yang menorehkan kisah bagi perjalanan hidup manusia. Sebutlah Tembok Berlin yang sarat kisah pilu sekaligus sejarah bagi para rakyat Jerman. Atau Tembok Besar Tiongkok yang menggambarkan kedigdayaan negeri Tirai Bambu tersbut.

Kemudian, ada juga yang dinamakan Tembok Ratapan yang dianggap paling suci oleh umat Yahudi. Tembok yang merupakan sisa reruntuhan dari Bait Suci yang dibangun oleh Raja Herodes di Yerusalem ini, merupakan salah satu benda/tempat sakral di dunia. Umat Yahudi percaya bahwa terdapat “Shekhinah” (kehadiran Illahi) pada tembok yang tidak turut terhancurkan tersebut. Jadi, berdoa di hadapan Tembok Ratapan, sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan.

Sumber Gambar: Tempo.co
Sumber Gambar: Tempo.co
Beberapa waktu lalu dalam sebuah kesempatan, saya berkunjung ke Desa Munjul di Kabupaten Tangerang. Sekali ketika kantung kemih saya menggembung. Tanda bahwa cairan di dalamnya sudah memberontak ingin bebas. Adalah sebuah SMP yang saya tumpangi untuk menunaikan tugas buang-membuang tersebut.

Ketika memasuki kakus di sekolahan tersebut, yang agaknya hanya satu-satunya, saya dibuat tercengang bukan main. Saking tercengangnya, Si Boy nyaris jebol pertahanannya. Di toilet tersebut, saya ternyata menemukan Tembok Ratapan lainnya. Bukan di Yerusalem, bukan di Babilonia, bukan di Atlantis. Tetapi di sebuah toilet kecil di pedalaman Tangerang. Tembok tersebut mungkin luput dari sejarawan, atau arkeolog, karena letaknya yang tidak diperhitungkan. Mungkin juga karena baunya yang seperti mumi Ramses II itu membuat para peneliti enggan memasukinya. Dan saya yang menyadarinya untuk pertama kali.

Gambar 1.1
Gambar 1.1
Lihat, bagaimana cara seorang bernama Regina ini memohon dan meminta ampun kepada Tuhan di tembok tersebut. Ada penyesalan yang teramat dari dirinya, sehingga membutuhkan tembok untuk melakukan komunikasi dengan Tuhannya. Bahkan saking akrabnya dengan Tuhan, Regina telah tiba pada tahap memanggil "Kamu" pada Sang Pencipta.

Gambar 1.2
Gambar 1.2
Kasihan anak-anak ini. Mereka tengah mengalami kondisi atau fase di mana semua hal terasa menyebalkan. Tidak ada yang lebih pahit ketimbang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Melihat tulisan ini saya cukup prihatin. Bagaimana tidak. Saya perkirakan usia anak yang menulis coretan ini sekira 12-14 tahun. Dan di usia yang demikian dini, ia sudah harus dihadapkan pada patah hati karena dilupakan oleh seseorang. Saya mengerti betul perasaan itu.

Gambar 1.3
Gambar 1.3
Merasa patah hati, berarti merasakan Bumi tengah berhenti berotasi. Segala makanan menjadi pahit. Segala mimpi buyar dalam tidur. Terlebih ketika kehilangan seseorang yang dicinta. Ibarat menabur garam pada luka. Bahkan, Meggy Z sesumbar bahwa lebih baik sakit gigi ketimbang sakit hati. Padahal sakit gigi dinilai sebagai salah satu sakit yang tidak terperikan.

Cinta.. Memang hal yang rumit. Menurut Plato, cinta yang sempurna adalah cinta yang tidak diungkapkan. Cinta dalam diam yang diilhami pemikir sekaliber Plato setidaknya diterapkan oleh anak-anak ini.

Gambar 1.4
Gambar 1.4
Terutama cinta Santi terhadap Endi. Santi tidak ingin cinta sempurnanya luruh. Di saat ia tidak ingin cintanya diketahui oleh siapapun, ia mempercayakannya pada tembok ini.

Gambar 1.5
Gambar 1.5
Bahkan di tembok ini, saya semakin meyakini bahwa cinta dapat membuat seseorang menjadi gila. Keinginan yang teramat besar untuk memberikan kesan pada lawan jenis, kerap membuat pelakunya hilang akal. Salah satunya anak ini:

Gambar 1.6
Gambar 1.6
Mungkin, anak ini hanya ingin memberikan yang terbaik pada Sang Kekasih. Mungkin juga, Si Kekasih menginginkan dirinya untuk memiliki Honda Beat Pop. Yaa, sekadar untuk antar-jemput ke sekolah, atau sebagai moda untuk mengunjungi binaria di malam Minggu. Saking menginginkan Beat Pop, anak ini terlihat sangat sumringah kendati alat kelaminnya bebas untuk dikonsumsi oleh publik. Namun sayangnya, anak ini hanya memiliki Harley Davidson. Bukan Beat Pop. Sayang sekali..

Kehidupan remaja memang penuh dengan warna. Di waktu orang lain memendam cinta dan rindu, justru sebagian lainnya bermuatkan dendam dan amarah. Dalam 7 Deadly Sins menurut ajaran Kristen, amarah adalah salah satunya. Anak-anak ini, dengan emosi yang menggelegak, menumpahkan amarahnya pada 'Tembok Ratapan'.

Gambar 1.7
Gambar 1.7
Meski begitu, tembok tetaplah tempat orang-orang meratap. Dan di setiap tempat berkumpulnya orang-orang yang bersedih dan marah, pastilah terdapat mereka yang bijaksana. Kehadiran para cendikiawan ini tidak bisa dielakkan. Begitu pula di Tembok Ratapan ini. Lihatlah bagaimana anak-anak calon Lincoln atau Gandhi ini memberikan wejangan.

Gambar 1.8
Gambar 1.8
Bahkan ia menggunakan bahasa yang sangat tinggi. Bahasa khas filsuf: "You Anthestend." Sungguh bahasa yang sangat berbau Yunani. Bahkan kamus luput untuk mencatatnya.

Ketika melihat tembok di SMP ini, saya teringat akan salah satu Cerpen Eka Kurniawan yang berjudul Corat-Coret di Toilet. Fungsi toilet bukan sekadar tempat berak atau kencing belaka. Toilet telah menjadi media bagi sesiapapun untuk menumpahkan perasaannya, menyampaikan pesannya, menorehkan harapannya, mengeluarkan umpatannya, dan sebagainya.

Kalian boleh tertawa melihat corat-coret anak-anak SMP di Tembok Ratapan. Menggelikan, memang. Terkesan kampungan, iya. Namun sebenarnya, kalian (kita) sama saja. Hanya medianya yang berbeda. Jika mereka mempercayakan aspirasinya pada dinding toilet, kita mempercayakannya pada dinding sosial media. Meskipun menurut saya, anak-anak SMP ini terlihat lebih beradab. Mereka tidak menjadikan kata-katanya sebagai penebar kebencian dan kebohongan yang dapat memecah belah, seperti yang kita lakukan di dinding sosial media. Mereka hanya belum paham arti vandalisme. Itu saja.

Satu kata:

Gambar 1.9
Gambar 1.9
Adia PP

Bandung, 05 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun