Produsen secara tidak langsung menekankan bahwa kulit hitam atau gelap itu tidak cantik. Dan secara tidak sadar, masyarakat madani di Indonesia yang menggunakan produk semacam itu menginginkan kulitnya menjadi putih. Tidak perlu menyangkal, banyak dari yang kami menganggap kulit putih lebih tampan atau lebih cantik ketimbang kulit gelap. Kulit gelap dinilai kumal dan kusam ketimbang kulit putih. Pemikiran seperti itu adalah buah dari rentetan kasus rasialisme yang memandang rendah ras kulit hitam di masa lampau. Dan pemikiran seperti itu, akan diwariskan kepada masyarakat madani kecil di kemudian hari.
Jika saja sejarah dunia diubah, dan yang menjadi korban rentetan kasus rasialisme adalah warga kulit putih, sedangkan kulit hitam sebagai pelakunya, atau pihak yang “menang”. Saya berani menjamin, kini orang-orang akan berlomba menghitamkan kulitnya.
Masyarakat madani, terlebih di Indonesia lebih banyak yang mengidolakan artis bule, ketimbang artis dengan kulit hitam. Kasus-kasus rasialisme berkedok produk kecantikan ini memang tidak berdampak langsung, namun akan merangsek ke dalam pola pikir masyarakat, dan menjadi mata rantai hingga masa depan. Hal seperti ini mungkin dinilai mengada-ada, dan remeh temeh, namun ini akan menjadi bahaya laten.
Masyarakat madani yang katanya beradab, pintar, dan bertoleransi tinggi nyatanya tidak menyadari bahwa kini kami masih terjebak dalam lingkaran rasialisme. Seharusnya, diskriminasi mengenai ras, agama, jenis kelamin, dan warna kulit sudah lama dihapuskan dari muka dunia. Namun pada kenyataannya, masih banyak masyarakat madani di Indonesia yang memaksa menggunakan pemutih kulit, meskipun hasilnya menjadi belang seperti kuda zebra. Atau sekadar mencat pirang rambutnya, meskipun lebih terlihat seperti rambut jagung. Pokoknya, gue bule!
Adia PP
Bandung, 30 November 2013