Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalis Gondok, Pasal 10 Bersobok Tembok

8 Maret 2014   18:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pasal 10 UU Pokok Pers menyatakan, “perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”

Dari pasal ini, perusahaan pers semestinya memberikan kesejahteraan kepada jurnalis dan pekerja media lainnya dari tahun ke tahun. Maknanya, mesti ada kenaikan gaji setiap tahun, bukan sekadar penyesuaian gaji lantaran inflasi. Kisarannya pun tidak sekadar puluhan ribu, tapi bisa ratusan ribu setiap tahun. Dengan begitu, peningkatan kesejahteraan adalah kemestian.

Sayangnya, poin ini bak bersobok dengan tembok. Sedikit sekali perusahaan pers, terutama di daerah, yang mampu menjalankan amanat pasal 10 ini. Di Lampung saja, ada harian yang menggaji seorang editor senilai Rp750 ribu sebulan. Itu pun tidak diberikan saban bulan, tapi dua bulan sekali. Sungguh tidak manusiawi. Dan jauh dari harapan pasal “striker” UU Pokok Pers ini.

Barangkali, hanya media arus utama dengan modal yang besar saja yang mampu mengejawantahkan pasal ini. Dan boleh jadi, hanya sedikit yang memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk memiliki saham sebagai bentuk kepemilikan.

Jika dikaji, kepemilikan saham oleh jurnalis dan pekerja media sangat baik. Dengan memiliki saham, pekerja akan lebih semangat dalam berinovasi untuk kantornya. Sebab, sedikit banyak mereka bergantung pada performa perusahaan. Jeleknya performa perusahaan akan menjadikan keuntungan mereka sedikit. Sedangkan jika performa perusahan baik, akan berimbas positif kepada keuntungan pekerja media.

Selain itu, dengan kepemilikan saham, pekerja akan semaksimal mungkin memberikan yang terbaik untuk kantor. Totalitas mereka dalam bekerja akan mewujud. Dengan begitu, tak ada lagi yang berupaya bekerja santai dan asal-asalan. Mereka akan fokus bekerja, memberikan yang terbaik untuk korporasi.

Dengan memiliki saham, perusahaan bisa mendapatkan kapital untuk menambah kapasitas produksi mereka. Dengan demikian, manajemen bisa berinovasi lebih. Jika konten utamanya koran, pasti akan ada upaya untuk mendorong agar eksemplar yang terjual bisa lebih banyak. Kemudian, mendatangkan iklan yang lebih banyak. Selain itu, bisa berinovasi dengan program di luar kegiatan jurnalistik. Barangkali dengan membuat lini media baru, semacam televisi, radio, dan portal berita. Ini memungkinkan karena saham sudah ditawarkan di pasar modal. Dan karyawan juga tertantang melakukan sesuatu yang baru karena mereka terlibat aktif di dalamnya.

Namun, mewujudkan ini tentu tidak mudah. Logikanya, perusahaan pasti memberikan kesejahteraan lebih dulu sehingga pekerja bisa menanamkan sahamnya. Tanpa itu, sulit mewujudkan kepemilikan saham oleh karyawan.

Keinginan mulia ini makin berat karena rerata media belum memiliki kekuatan di serikat pekerjanya. Kalau hanya mengandalkan perjuangan sendiri-sendiri, makin sulit lagi. Namun, membangun serikat pekerja ini pekerjaan yang sulit. Pemilik media umumnya enggan menyetujui adanya serikat dalam manajemen. Pemilik media barangkali beranggapan, serikat pekerja hanya menyusahkan dan kontraproduktif.

Bentuk perjuangan untuk mewujudkan pasal 10 ini memang berat. Tapi, bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Jika performa perusahaan sudah bagus, karyawan bisa mengajukan usul agar saham ditawarkan di pasar modal dan pekerja bisa “menitipkan” saham di sana. Kalaupun medium pekerja media belum ajek dalam bentuk serikat pekerja, bisa dalam bentuk lain. Mungkin wadah pengajian karyawan atau keluarga arisan karyawan.

Yang jelas, sebagai bentuk amanat undang-undang, pasal 10 ini juga tak boleh dilupakan. Pasal ini tidak kalah pentingnya dengan pasal lain yang barangkali lebih dekat kontennya dengan kerja jurnalistik. Apalagi sekarang media itu memasuki pasar industri yang ikhtiarnya mencari profit sebesar-besarnya. Jika ini menjadi niat utama, wajar jika karyawannya disejahterakan. Dan salah satu mediumnya dengan memberikan kesempatan pekerja media punya saham di kantor tempat mereka bekerja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun