Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Editing, Bahasa, dan Soal Selera

14 Februari 2012   04:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Senjata jurnalis, penulis, dan editor itu ada di bahasa. Sebab, dengan bahasa inilah mereka berkarya. Bahasa, dengan kekayaan kosakata di dalamnya, menjadi alat penting dalam berbahasa tulis. Ada banyak diksi dalam khazanah bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah satu panduan untuk kita menulis. Ada banyak diksi di dalamnya. Jutaaan lema yang bisa kita pakai saat menulis.

Namun, ada kalanya beberapa kosakata resmi dalam kamus tidak akrab dalam percakapan lisan sehari-hari. Hal itu menyebabkan publik kurang bisa menerima. Media cetak sebagai alat edukasi acap kukuh menggunakan bahasa yang baku untuk pembacanya. Meski ada beberapa yang tak lazim, media tetap menggunakannya.

Sebagai contoh penggunaan "ustaz", "penggawa", dan "jemawa". Dalam percakapan sehari-hari secara lisan, kita barangkali lebih akrab dengan "ustadz", "punggawa", dan "jumawa".
Diksi "ustaz" memang tepat karena untuk menunjukkan dai yang perempuan kita menggunakan "ustazah" bukan "ustadzah".

Ya, bahasa memang soal citarasa. Selain pilihan diksi yang berbeda, soal kelaziman juga diperhatikan. Di kamus, hewan trenggiling itu bentuk bakunya "tenggiling". Namun, itu sama sekali tak lazim. Semua manusia barangkali akrab dengan trenggiling ketimbang tenggiling. Dalam konteks ini, lebij bijak kalau trenggiling yang dipakai. Soal herbal juga demikian, padahal yang baku di dalam kamus ialah herba. Lantaran tak lazim dan metode pengobatan "kembali ke alam" ini selalu tren, media juga mengakomodasinya dengan "herbal", bukan "herba".

Dalam ranah media massa, otoritas memang ada di media itu. Pembaca tinggal menikmati bacaan dengan ragam kosakata di dalamnya. Kadang pembaca menemukan diksi yang barangkali tak akrab. Akan tetapi, media tetap menggunakan. Ini mesti dipahami sebagai usaha melestarikan banyak diksi yang belum digali.

Untuk menunjukkan seseorang yang minum kopi, dalam menulis, sebagaimana dilakukan media, kita bisa membuat kalimat "Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Raja Swedia Carl XVI Gustaf menyesap kopi di Istana Bogor pagi ini. Diksi "menyesap" bisa dipakai buat menunjukkan mengonsumsi kopi. Konon, minum kopi ini tak sekadar minum "glek" seperti minum air tawar. Karena punya citarasa khusus, minum kopi mesti dinikmati benar. Menyesap begitu. Nah, saat aroma kopi keluar dan hidung kita menghirupnya, ada kosakata yang bagus: menguar. Contoh kalimat: Saat kami tinggalkan, aroma tetumbuhan herbal menguar dari rumah itu.

Dalam ranah buku, pilihan diksi bergantung pada penulis dan editor. Keduanya mesti bersinergi agar setiap kalimat yang ditatahkan bisa bagus.

Saya punya pengalaman. Tahun 2009, seorang teman berniat menulis buku. Ia menemui saya dan meminta mengedit bukunya. Saya oke. Saya senang karena ada teman mau menulis buku. Honornya harga teman saja. Satu juta perak lebih dua ratus lima puluh ribu. Judul bukunya cukup menghentak, mengagetkan, dan bakal sedikit kontroversial: Allah pun Taubat. Yang pasti, isi buku bukan menggugat Tuhan, malah menambah ketakwaan.

Dari sisi judul saja, kami berdebat. Diksi "taubat" yang baku dalam perbendaharaan kosakata ialah "tobat" yang maknanya permohonan ampun kepada Allah. Dari sinilah diskusi menemui benang merah. Teman itu, Muhammad Farid namanya, sengaja mempertahankan diksi "taubat" karena ia kepingin mengembalikan arti asli lema itu. "Taubat" dalam definisi Alquran yang diketengahkan Farid bukan permohonan ampun, tetapi "kembali". Ia menyitir satu ayat yang menjelaskan kalau hamba itu beriman, ia dekat dengan Allah. Kalau ia melakukan kemaksiatan, ia menjauhi Allah. Dan saat ia sadar dan mau iman, ia kembali (taubat). Nah, saat seorang hamba taubat dalam arti kembali, Allah pun taubat (kembali) ke hamba. Saat kita jauh, Allah juga jauh. Saat kita dekat, Allah pun dekat. Saya menggut-manggut dan sepakat diksi "taubat" dipertahankan.

Untungnya, dalam beberapa diksi lain Farid mau berkompromi dengan aturan EYD dan kosakata baku. Maka, pilihannya waktu itu Alquran ketimbang Al Qur'an, ustaz dibanding ustadz, sedekah dari sodaqoh, dan infak bukan infaq.
*
Bahasa memang ada bakuannya dalam ranah penulisan. Akan tetapi, yang namanya selera itu bergantung pada citarasa. Mana enak, mana suka. Itu yang dipakai. Kelaziman menjadi faktor penting juga dalam memilih diksi. Ada yang baku, tetapi lantaran tidak umum, tidak dipakai. Yang digunakan malah yang jamak digunakan masyarakat. Kalau pilihannya kemudian menggunakan jumawa ketimbang jemawa, punggawa bukan penggawa, dan sumringah bukan semringah, silakan saja. Soal "silakan" ini sudah baku ya, bukan "silahkan".

Akan tetapi, untuk kata denotatif tentu tak bisa diubah. Kalau ingin menunjukkan sesuatu yang diam saja, pakai "bergeming". Jangan tambah dengan kosakata "tidak" sehingga menjadi "tidak bergeming". Geming itu ya diam saja. Tidak bergerak, ke kiri atau ke kanan. Kita acap salah dengan menulis atau melafalkan "tidak bergeming" untuk sesuatu yang diam, padahal itu keliru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun