Meski, seperti saya bilang tadi, kejadian sesungguhnya membutuhkan ilmu untuk menjadi karya jurnalistik. Ia mesti tidak tendensius.Â
Ia mesti mengambil keterangan dari dua atau tiga pihak. Ia mesti memberikan ruang, waktu, dan kolom yang sama di media massa.
Saya ingin mengampanyekan ini dengan tegas. Bahwa warganet atau orang sipil adalah kekuatan demokrasi yang ke-5. Kita adalah pilar ke-5 demokrasi.Â
Frasa yang paling tepat agaknya jurnalisme warga. Sebab, frasa ini merujuk pada sebuah isme besar dalam jurnalisme yang berkelindan dengan warga biasa. Jurnalisme warga kini adalah kekuatan yang semakin menunjukkan perannya.Â
Kekuasaan tak boleh macam-macam dengan kami. Bekerjalah wahai kekuasaan dengan benar dan wajar.
Buat para pejabat publik, berhentilah korup. Jaga istri dan anak kalian, dari arogansi dan suka pamer di media sosial.Â
Sebab, semua orang kita sudah ditahbiskan sebagai reporter warga. Baik mereka yang paham etiket maupun yang belum.
Untuk semua warganet Indonesia, saya sarankan mulai sekarang banyak-banyak baca jurnalisme. Salah duanya 9 Elemen Jurnalisme dan Blur.Â
Kedua buku itu yang menulis namanya Bill Kovach, "nabi "jurnalisme" yang banyak disebut pakar sebagai "nuraninya jurnalisme dunia".
Saya sarankan juga baca-baca UU tentang ITE, UU tentang Pers, dan lainnya. Supaya makin pintar dan ketika menemukan sesuatu segera mem-posting konten dengan cerdas dan terhindar dari jeratan hukum.
Mari sama-sama kita dengungkan dan kampanyekan bahwa kita adalah kelompok sipil bersenjata. Ya bersenjata.Â