Begini penjelasannya. Teman sebaya lebih remaja sukai ketimbang orang yang lebih tua. Mereka akan nyaman dengan sebaya.Â
Jangankan yang remaja. Ibu-ibu pengajian di masjid dekat rumah pun demikian. Ibu saya yang pensiunan guru yang ajarkan ini.Â
Dahulu di musala kampung kamu lansia mengaji itu-itu saja. Satu guru dengan banyak murid.Â
Ibu saya datang dan kasih saran. Dengan jumlah anggota yang banyak, kasih sistem tutor sebaya. Maka, ibu-ibu yang sudah piawai membaca Alquran menjadi tutor sebaya untuk yang belum bisa.Â
Dengan demikian, dari yang tadinya peserta biasa, naik kelas jadi tutor. Belajar makin efektif. Yang didapuk tutor makin pandai, yang jadi murid makin bisa dan tidak sungkan karena jumlah orang makin sedikit.Â
Sebaya ini enak karena seumuran dan tak ada sungkan.
Dalam konteks sekolah, saya banyak pengalaman. Mungkin karena waktu SMA dan lulus tahun 1997, pernah didapuk jadi ketua umum OSIS, pengalaman lumayan banyak.
Sekolah mesti membentuk pelajar penggerak. Ini bertujuan menjadikan mereka sebagai role model di sekolah. Tiap kelas dicari dua siswa yang cocok untuk itu. Satu putra, satu putri.Â
Kepada mereka diberikan pendidikan khusus sehingga menjadi siswa penggerak. Ia bisa jadi ketua kelas, bisa jadi pengurus OSIS, atau siswa biasa tapi memiliki kemampuan yang memadai.
Kita ingin suasana di kelas menjadi hidup dan tertib saban waktu sekolah. Kelas menjadi hidup dengan diskusi, dengan pembelajaran menyenangkan, dengan saling bantu, dengan ketinggian filantropi, dan sebagainya.'
Kalau para guru banyak dapat lokakarya untuk itu, siswa pun demikian. Kita bentuk mereka menjadi pribadi pemimpin yang mampu menggerakkan, yang mampu menjadi teladan, yang mampu menolak kemafsadatan, dan lainnya.Â