Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjawab Irwan R Sikumbang: Mempertahankan Kompas dengan Gagasan Bernas

17 Januari 2023   11:49 Diperbarui: 18 Januari 2023   13:14 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas. Sumber foto Kompas.com

Sahabat saya Kompasianer yang sangat aktif mengunggah tulisan di Kompasiana, Irwan Rinaldi Sikumbang, bikin tulisan soal media massa di Kompasiana. Bang Irwan, demikian biasanya saya memanggilnya di kolom percakapan, menulis artikel berjudul "Republika Tumbang, Kompas Bisa Bertahan Sampai Kapan?"

Saya suka tulisan itu, pertama, karena judulnya menggoda. Rima di setiap akhirannya membuat pembaca dipandu untuk menuju ke arah mana.

Paparan Bang Irwan juga berkualitas oke punya. Tampak kemapananannya sebagai seorang pembaca berita koran dan daring serta jangkauan penulisannya yang mantap.

Intisarinya, Bang Irwan ingin ada prediksi sampai kapan koran sekelas Kompas bisa bertahan dengan cetaknya. Bang Irwan saya yakin tidak ingin juga matinya Republika cetak berimbas ke Kompas.

Kompas memang sejauh ini masih ada. Beberapa koran besar setahu saya juga masih terbit meski mungkin tirasnya tidak sebesar dahulu.

Saya setuju dengan pendapat Bang Irwan bahwa Kompas sudah mendahului kesiapan bermain di level daring dengan adanya Kompas.id. Namun, saya ingin mempertegas juga, buat saya intervensi koran digital ini buat kami pembaca, khususnya di Bandar Lampung belum terasa.

Entah mungkin saya yang tak tanggap atau apa, sekarang pun saya belum berlangganan Kompas.id. Sebagai penggemar berat PK Ojong, pendiri Kompas dan Kompasiana itu, rasanya entah mengapa saya ada perasaan belum perlu berlangganan Kompas.id.

Orang berlangganan itu karena menilai ada sesuatu yang berbeda dan khas yang ia rasakan jika mengeluarkan duit untuk itu. Jika ini yang menjadi alasan, artinya Kompas.id yang merupakan perwujudan Kompas dalam bentuk daring belum saya butuhkan amat.

Kalau boleh mengomparasikan, berbeda dengan Tempo. Sejak Tempo ada tawaran masif di media sosial Instagram dua tahun lalu kalau tak salah, saya sudah berlangganan.

Saya lupa jumlahnya. Soalnya pakai akun rekening istri membayarnya. Tapi pembaca silakan cari sendiri di internet untuk harga itu.

Mengapa kemudian saya langsung tertarik berlangganan? Sebab, Tempo memang sejak awal menyajikan sesuatu yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun