Chuck, editor The New Republic, menyelidiki sendiri soal artikel itu. Ia meminta Glass menunjukkan tunjukkan tempat yang ia tulis itu. Glass gagap. Chuck marah besar. Ia tahu Glass bohong.
Glass disidang. Semua artikel yang pernah ia tulis, dipertanyakan. Sebagian besar memang hasil karangan alias tidak pernah ada kejadian nyata. Astagfirullah.
Kedua, plagiarisme
Dosa kedua wartawan adalah menjiplak, mencontek, atau memplagiat. Maknanya, menduplikasi karya orang kemudian diakui sebagai karyanya. Menjiplak bisa dari satu sumber atau dari sumber lain. Penulis juga bisa terkena dosa ini.
Biasanya orang melakukan itu karena mau menulis tapi kurang ide. Kemudian ia baca beberapa artikel sejenis. Karena dilihat bagus, karya itu kemudian dijiplak.
Waktu saya masih kerja di koran, ada seorang teman kasih tahu bahwa ada esai yang hasil jiplakan. Teman ini, kini dosen di sebuah kampus negeri di Lampung, menunjukkan letak plagiarisme dari esai yang ditulis si penulis. Kata teman dosen ini, penjiplak ini mengambil tulisan dari sebuah kata pengantar sebuah buku. Astagfirullah.
Redaksi kemudian rapat dan memutuskan memberikan coretan hitam kepada si penulis itu. Ia di-black list. Artinya, mau sampai kapan pun menulis, tidak bakalan dimuat di media massa itu lagi. Ngeri. Entahlah kalau ia pakai nama orang lain.
Tapi esensinya adalah jangan sekali-kali menjiplak tulisan. Kalau memang ada bagian utuh yang mau dikutip, silakan saja kutip dan sebutkan sumber buku atau artikelnya.Â
Kita bisa selamat jika demikian. Namun, kalau mengaku-ngaku karya orang menjadi karya kita, itu yang berbahaya. Ya Allah jauhkan kami dari perilaku ini.
Ketiga, memeras
Di Bandar Lampung sekitar beberapa bulan lalu marak berita ada wartawan memeras. Jumpah oknum wartawannya juga lebih dari satu orang. Mereka memeras narasumber dengan meminta uang. Para penjahat jurnalis ini rupanya tahu kesilapan si oknum seseorang yang punya jabatan.