Sejak tinggal di kompleks perumahan yang sekarang kami diami, saya mendapat jatah paket alias ronda malam saban Rabu malam. Saat Ramadan seperti sekarang, tugas itu diubah menjadi membangunkan warga untuk makan sahur. Kisaran jam tugasnya adalah jam tiga dini hari.
Beberapa anak kadang ikut membangunkan. Mereka membawa tetabuhan dari galon air mineral atau botol botol bekas yang dipukul bertalu-talu.
Tapi kebanyakan warga menilai itu kelewat berisik dan bikin kesal. Bukannya bangun dengan senang, gara-gara itu warga bangun dengan muka kesal. Meskipun sebetulnya mereka wajib bersyukur karena sudah dibangunkan.
Ada satu yang diabaikan saat membangunkan orang sahur. Ketika mikrofon masjid dihidupkan dan suara kita menggema membangunkan orang, kita merasa sudah cukup.
Ada juga yang berkeliling kampung membangunkan orang sahur. Namun, paginya banyak yang komplain karena merasa tidak dibangunkan oleh mereka yang piket.
Pekan lalu saya mencoba cara baru yang mungkin agak eksrem. Ini terintegrasi dari para petugas pemadam kebakaran. Prinsip utama pemadam kebakaran itu adalah pantang pulang sebelum api padam. Artinya, mereka enggak akan balik ke markas besar kalau api masih membumbung.
Saya pun demikian. Prinsip saya, sebelum ada jawaban dari orang di dalam rumah yang kita bangunkan, saya pantang undur diri. Maka, pekan lalu, itu saya lakukan. Kebetulan kebagian jatah piket membangunkan orang sahur.
Jam tiga dini hari saya sudah bangun. Cuci muka kemudian keluar rumah. Yang dituju pertama kali adalah masjid dekat rumah. Mikrofon dihidupkan dan saya mulai teriak-teriak.
"Asslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bapaka-bapak, ibu-ibu, waktu sudah menunjukkan jam tiga dini hari. Banguuuuunnnn! Sahuuuuuurrrr!" .
Begitu selesai, saya kemudian membangunkan satu per satu kepala keluarga yang menjadi tugas itu. Sudah kayak orang mau menangkap maling, hahaha.
Pakai suara paling keras. Prinsipnya jangan beranjak dulu sebelum ada suara dari dalam rumah.