Oleh: Adi Suhenra Sigiro, M.Th
Sahabat Pembaca, mari kita mulai dari ratapan di Taman Getsemani!
“Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya”. Sahabat Pembaca, seperti itulah ratapan yang keluar dari mulut Yesus ketika Dia berdoa di taman Getsemani. Betapa tidak, secara psikologi sebagai Manusia, pada saat itu Yesus menghadapi tekanan yang sangat berat. Injil Lukas sampai mencatat bahwa : “Ia (Yesus) sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Luk. 22:44)”.
Tentu hal ini sangat wajar karena Yesus tahu tinggal sedikit waktu lagi salah satu dari murid-Nya, yakni Yudas akan menyerahkan diri-Nya untuk ditangkap oleh para prajurit utusan imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi karena sebelumnya Yudas telah menjual Yesus dengan 30 keping perak. Yesus tahu bahwa ciuman penghianatan itu akan diterima dari Yudas yang selama ini pelayanan bersama diri-Nya kemanapun Dia pergi.
Sahabat Pembaca, Yesus juga tahu setelah Diri-Nya ditangkap, Dia akan disiksa, dihakimi, dipermalukan dan hidup-Nya akan berakhir dengan cara yang tragis. Dia akan di salibkan di Golgota.
Yesus juga sangat tahu bahwa ketika menghadapi penderitaan-Nya, semua murid-murid-Nya akan berlari meninggalkan-Nya, bahkan Petrus yang berkata “biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak (Mat. 26:32)”, akan menyangkal bahwa dirinya mengenal Yesus karena dia takut menderita seperti yang dialami Yesus.
Mengetahui tekanan dan siksaan yang sangat berat yang sebentar lagi dialami, kitab Injil Matius, Markus, dan Lukas mencatat bahwa Yesus nampaknya seperti bernegoisasi dengan Allah Bapa di Sorga. Yesus berkata: “ Ya, Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Ungkapan ini beberapa kali keluar dari mulut Yesus sebagai tanda penyerahan kepada kehendak Bapa di Sorga.
Sahabat Pembaca, ratapan Yesus di taman Getsemani mengingatkan kita bahwa sekalipun tekanan, siksaan, penderitaan yang diterima Yesus begitu berat, namun Yesus menerimanya karena kasih dan cinta-Nya bagi semua orang berdosa supaya tidak binasa, Yesus telah mengambil keputusan untuk menerima dan mengalami penderitaan tersebut bahkan taat sampai mati di kayu salib. Diakhir penderitaan-Nya di atas salib di bukit Gologota, sambil menundukkan kepala dan menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa di Sorga, Yesus berkata: “sudah selesai (Yoh. 19:30)”.
Sebab itu, Sahabat Pembaca, mestinya bersyukur sebab sekarang kita telah hidup dalam anugerah-Nya dan kita harus memberitakan pada dunia bahwa dengan berakhirnya penderitaan Yesus di kayu salib maka berakhir pula kuasa dosa dan penghukuman dosa bagi kita orang percaya. Sebab Yesus telah menaklukkan kuasa dosa dan menggantikan penghukuman yang harusnya kita terima di kayu salib. Pada intinya, di taman Getsemani, Yesus telah memilih menyelamatkan orang berdosa sekalipun harga yang dibayar sangat mahal.
Sahabat Pembaca, mari kita lanjutkan pada ratapan di Golgota!
Sahabat Pembaca, ternyata ratapan Yesus tidak hanya diungkapkan di taman Getsemani, ratapan-Nya pun diungkapkan-Nya saat berada di kayu salib. Betapa tidak, Yesus pernah berkata : “Aku dan Bapa adalah satu"(Yoh. 10:30). Namun saat berada di kayu salib, hubungan-Nya yang erat dengan Bapa di sorga terputus sampai Yesus berkata: “Eli, Eli Lama Sabakhtani? Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat.27: 46). Sahabat Pembaca, pada saat itulah, penderitaan yang dialami Yesus bukan terjadi hanya secara psikis saja melainkan juga secara spritual. Benar-benar Yesus sendiri menanggung penderitaan-Nya sampai kematian-Nya.