Mohon tunggu...
Adhitya Pradhana
Adhitya Pradhana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Progam studi Ilmu Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paham Feminisme Dalam Konsep Kesetaraan Gender

17 Januari 2022   02:14 Diperbarui: 17 Januari 2022   05:21 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Isu mengenai gender atau kesetaraan gender ini sudah banyak menjadi pembahasan  yang cukup menarik dikalangan akademisi dan juga tentunya masyarakat, ditenggah hangatnya pembahasan mengenai ekonomi dan politik. Isu ini semakin menarik untuk dibahas karena banyak ditemukan sebuah ketidakadilan diantara kedua jenis kelamin tersebut yaitu antara perempuan dengan laki-laki. Perbedaan gender ini sebenarnya tidak akan menjadi sebuah masalah jika tidak menciptakan sebuah ketidakadilan anatara perempuan dengan laki-laki. Dan didalam Al-Quran juga tertulis bahwa Allah melarang untuk menyakiti perempuan dan laki-laki tanpa adanya suatu alasan, seperti yang tertulis dalam ayat : "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab:58)

Mungkin kita juga sudah tidak asing lagi mendengar mengenai sebuah istilah kata Gender, kata gender ini merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang dimana kata ini memiliki sebuah makna jenis kelamin dan dimana dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari kata gender ini memiliki sebuah pengertian yang berbeda dengan jenis kelamin. Kata gender yang sering kita dengar ini merupakan sebuah istilah dimana untuk digunakan dalam mendiskripsikan sebuah karakteristik perempuan dan laki-laki dimana gender ini memiliki sebuah pengertian dimana gender merupakan pembeda sebuah perilaku, hak, dan tanggung jawab antara perempuan dengan laki-laki berdasarkan kebiasaan dan bukan bersifat kodrat (Prawiro, 2021).

Dalam lingkungan masyarakat luas mereka memahami bahwa gender bisa diasosiasikan menjadi dua istilah yaitu maskulin dan feminim. Maskulin ini mengacu pada sifat seorang laki-laki seperti kuat, pemberani, dan berjiwa pemimpin. Sedangkan feminim ini mengacu pada sikap perempuan yang lembut, sabar, dan perasa. Namun disini saya juga berpendapat bahwa posisi gender ini dapat berubah bahwa perempuan itu tidak selamanya harus lembut tetapi mereka juga bisa menjadi sebuah pemimpin yang tegas dan laki-laki tidak selamanya mereka tidak boleh menangis ada kalanya mereka juga memliki sebuah perasa dalam merespon sekitar (Prawiro, 2021).

Dalam menganalisis mengenai kesetaraan gender didalam ruang lingkup Hubungan Internasional, disini penulis menggunakan sebuah teori yang bernama Feminisme. Teori Feminisme ini merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut sebuah keadilan atau kesamaan dengan laki-laki. Feminisme ini sendiri bersumber dari bahasa latin yaitu femina yang memiliki sebuah arti perempuan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam debat politik di Perancis pada akhir abad ke-19 (Rahmadani, 2020).  Teori feminisme ini bukanlah sebuah paham yang membeci laki-laki ataupun paham yang mengingkari kodrat perempuan melainkan suatu paham yang memiliki sebuah tujuan untuk menciptakan sebuah keadilan dan mengahkiri sebuah tindakan kekerasan yang ditujukan kepada perempuan, (Hannam, 2007:22).

Perkembangan paham feminisme ini ditandai dengan sadarnya perempuan bahwa mereka selamaini mengalami sebuah ketertindasan atau ketidakadilan. Tonggak sejarah perjuangan dari feminisme ini dimulai disebuah kota kecil yaitu Seneca Falls yang terletak di sebelah barat New York, Amerika Serikat pada tanggal 19 juli 1848. Terdapat sekitar 3000 orang yang menghadiri pertemuan yang digagas oleh Elizabeth Caddy Stanton, yang dimana didalam acara ini terdapat agenda khusus untuk membicarakan mengenai hak-hak perempuan dan melaui pertemuan ini berhasil mengeluarkan sebuah deklarasi yang diberi nama Deklarasi Sentimen yang telah ditanda tanggani oleh kurang lebih setengah dari peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut. Isi dari Dekarasi tersebut terdiri dari 12 pasal yang diantaranya membahas mengenai tentang hak milik, hak berbicara, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam perdagangan, profesi, hak untuk memiliki, serta hak untuk mengajukan gugatan cerai. Kemudian perjuangan tidak hanya berhenti sampai disitu saja, pada tahun 1890 dilakukan sebuah peleburan dari berbagai macam organisasi perjuangan guna membentuk National American Women Suffrage Association (NAWSA). Kemudian juga pada tanggal 18 Agustus 1920 kongres Amerika meloloskan Amandemen 19 yang dimana isi dati amandemen tersebut adalah mengakui hak memilih bagi kaum perempuan, namun hal tersebut tidak membuat puas kaum perempuan karena mereka mengangap masih terlalu banyak deskriminasi diberbagai bidang dan pada sekitar tahun 1976 puluhan perempuan melakukan demonstrasi di depan gedung putih yang dimana mereka mengajukan sebuah tuntutan untuk dilaksanakannya equal right amandemen (ERA), (Sunarti, 2020).

Salah satu bentuk perlawanan dari feminisme ini adalah mereka menentang patriaki. Patriaki ini merupakan sebuah sistem sosial yang dimana meletakkan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada perempuan sehingga dapat menguasi hampir di semua bidang dan dapat membuat sebuah keputusan penting, sehingga dalam sistem patriaki ini seolah-olah memposisikan bahwa perempuan bebas untuk dieksploitasi. Namun disisi lain sistem patriaki ini juga cukup memberikan dampak kerugian bagi kaum laki-laki dimana didalam hal ini laki-laki harus memiliki sebuah posisi yang superior secara ekonomi dibandingan perempuan (Amnesty, 2021).

Teori feminisme ini memiliki sebuah upaya untuk memastikan bahwa perempuan dapat terlindungi secara penuh dari pemerkosaan, pelecehan seksual, dan juga kekerasan. Namun perkembangan feminisme ini terhalang juga dengan adanya perkembangan dari  feminazi. Feminasi merupakan sebuah sebutan yang ditujukan pada kaum feminisme radikal yang pada dasarnya memiliki sebuah tujuan untuk merendahkan laki-laki sehingga mereka lupa dengan kodrati dirinya sebagai perempuan dan bahkan kewajibannya sebagai perempuan sering diabaikan dan ditinggalkan. Bahkan menurut kaum feminasi ini mereka berpendapat bahwa menyusui anak mereka bukanlah sebuah kewajiban melainkan suatu hak. Perlu kita tegaskan kembali atau kita garis bawahi, paham feminisme ini bukanlah suatu paham yang mengajarkan untuk menjatuhkan laki-laki atau membenci laki-laki melainkan untuk mendobrak sistem dari patriaki tersebut yang dimana sistem patriaki ini menempatkan posisi perempuan dibawah laki-laki sehingga memberi kesan bahwa perempuan itu lemah (Syam, 2021)

Sistem patriarki ini  juga tidak hanya merugikan bagi kaum perempuan yang dimana meletakan posisi perempuan dibawah laki-laki, namum sistem ini juga memberikan kerugian bagi laki-laki sehingga menimbulkan sebuah istilah yang bernama toxic masculinity yang dimana toxic masculinity ini memiliki sebuah arti sebagai perilaku sempit dalam melihat peran gender, didalam toxic masculinity ini mereka berangapan bahwa sikap pria atau laki-laki sangat lekat atau identik dengan sifat yang kuat, pemberani, berjiwa pemimpin, dan bahkan tidak boleh menangis dan mengangap bahwa laki-laki yang menangis itu adalah seorang laki-laki yang lemah (Syam, 2021). Padahal di satu posisi laki-laki juga memiliki sebuah hati dan perasaan dimana mereka juga ingin menangis karena perasaan sedih mereka rasakan hal tersebut merupakan suatu hal yang lazim terjadi sebagai manusia karena kita tidak perlu memandang itu laki-laki atau perempuan dalam menunjukan sebuah perasaan sedih tersebut.

Pada saat ini peran aktif dalam konteks kesetaraan gender sudah tidak hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja melainkan kaum laki-laki pada saat ini juga mulai memiliki peran aktif dalam mewujudkan sebuah kesetaraan gender ini, hal ini dapat terlihat melalui berbagai macam organisasi yang dibentuk dan bergerak di bidang isu gender dan bahkan dalam hal ini melibatkan peran kaum laki-laki contohnya seperti White Ribbon Campaign dari Toronto, Kanada, dan MASVAW (Men's Action to Stop Violence Against Women) India. Organisasi tersebut dibentuk sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan sebuah kesetaraan gender (Misbach, 2018).

Melebarnya isu gender ini didalam dunia global  tidak lepas dari adanya pergerakan dari kaum feminisme, namun dengan adanya sebuah pemahaman atau pola pikir yang berbeda didalam masyarakat luas mengenai konsep gender ini, ketika sebuah citra buruk mengenai perempuan muncul yang dimana dibuat oleh masyarakat sehingga dapat memberikan dampak buruk bagi kaum perempuan (Misbach, 2018). Contohnya seperti keyakinan bahwa faktor terjadinya sebuah pemerkosaan adalah dari perempuan tersebut seperti memakai pakaian yang terkesan sexi maka masyarakat akan mengangap bahwa perempuanlah yang memancing kaum laki-laki.

Terkadang sebuah norma yang berlaku didalam masyarakat juga terkadang dapat merugikan salah satu dari dua jenis kelamin tersebut, meskipun kadang mereka mengangap bahwa perbedaan gender adalah sebuah hal yang wajar. Contoh yang sering kita lihat adalah seperti bahwa perempuan tempatnya didapur padahal perempuan bisa melakukan lebih daripada itu. Jadi disini saya memiliki sebuah pendapat bahwa feminisme ini dapat diartikam bahwa ketidakseimbangan antara perempuan dengan laki-laki, dari ketidakseimbangan yang terbentuk ini seolah-olah memposisikan perempuan selalu berada di bawah laki-laki dan seolah-olah juga memposisikan bahwa wanita itu lemah dan laki-laki selalu kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun