Mohon tunggu...
ADHE YOGI
ADHE YOGI Mohon Tunggu... Guru - GURU SMA

TERTARIK BERDISKUSI TENTANG PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Pendidikan di Indonesia Menghianati "Taman Siswa"

8 Februari 2023   09:39 Diperbarui: 8 Februari 2023   09:44 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kata sekolah pada dasarnya berasal dari Bahasa Latin yaitu " skhole" yang artinya adalah waktu luang atau waktu senggang. Sekolah dalam hal ini adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja, sehingga siswa di sekolah akan mencari dan menemukan potensi dan keunikan mereka sendiri. 

Dari asal kata itulah tokoh Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, mendirikan sekolah pertamannya yang diberi nama Taman Siswa, Taman berarti sebuah tempat bermain yang teduh, tenang, dan tentunya menyenangkan, anak-anak senantiasa gembira berada di taman, mereka dengan senang hati menghabiskan waktu di taman, dan belajar adalah proses kegembiraan bagi siswa yang ada didalamnya. 

Konsep pembelajaran yang sejak tahun 1922 sudah diterapkan di indonesia yang saat ini diterapkan pula di negara Finlandia negara dengan sistem pendidikan terbaik didunia, jauh sesudah taman siswa memulainnya.

Namun seiring perkembangan waktu sekolah sebagai taman siswa berubah konsep, sekolah bukan lagi menjadi taman dan tempat yang indah bagi siswa untuk mencari dan menemukan potansi diri, namun mereka dikotakkan dalam keseragaman yang membuatnya tidak mampu keluar dari belenggu sebuah sistem, padahal Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan dalam bukunya " Pusara" (1940) bahwa " Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. 

Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi." Penyeragaman itu salah satunya tercermin pada ujian nasional, yang menilai sisi keberhasilan anak melalui 3 mata pelajaran saja,  dan yang lebih ironi sekolah dengan rata-rata nilai ujian nasional terbaik menjadi indikator utama sekolah incaran para orang tua, Sekolah-sekolah dengan peringkat kelulusan nilai UN tinggi jelas dipercaya sebagai sekolah dengan kualitas akademik baik, sehingga sekolah berubah menjadi menjadi tempat untuk saling mengalahkan, membandingkan keunggulan hanya dari satu sisi yaitu nilai UN. 

Sekolah bukan lagi menjadi tempat menggali potensi unik setiap anak, dan menjadikan potensi itu bekal untuk membangun bangsa. Siswa terus dipacu untuk mendapatkan nilai terbaiknya, utamannya nilai UN, dengan diadakannya pengayaaan jam ke 0 atau jam 06.00 pagi, lalu memulai pembelajaran seperti biasannya, kemudian dilanjutkan dengan pendalaman jam 14.30 sampai 16.30 sore, belum lagi orangtua yang menginginkan nilai UN anaknya tinggi menambahkan beban anak dengan bimbel, lalu PR dari guru membuatnya ingin terus menjerit, kapan ini akan berakhir?, kemudian pada akhirnya merubah konsep sekolah bukan lagi menjadi Taman Siswa.

Konsep Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, dihianati oleh bangsanya sendiri, sedangkan Finlandia negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia saja menerapkannya. Bahkan Mantan Menteri Pendidikan Bapak Anies Baswedan pernah mengatakan dalam laman resmi liputan6.com bahwa "tempat pendidikan di Finlandia tidak disebut sekolah, melainkan taman, Ironis ketika negara lain menerapkan prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dituliskan puluhan tahun dan sukses meningkatkan pendidikan mereka saat ini, (sedangkan) kita sendiri terasing dari pemikirannya."

Mengembalikan roh Taman Siswa adalah bagian dari solusi perbaikan sistem pendidikan saat ini, karena menurut Ki Hadjar Dewantara dalam " Mimbar Indonesia" (1948) " Bermain adalah tuntutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani." Pendapat itu sejalan dengan Leena Liusvaaraa seoran guru matematika di Finlandia yang mengatakan " Kami mengajari mereka untuk bahagia, untuk menghargai orang lain dan dirinya sendiri."

Seharusnya beberapa penyataan diatas dapat menjadi pertimbangan bagi negara untuk mengembalikan sekolah kedalam konsep awalnya yaitu "Taman Siswa". Negara dalam hal ini pemerintah bisa melakukan beberapa kebijakan diantarannya adalah:

Pertama, mengubah standarisasi kaku yang berlebihan. Standarisasi kaku dan berlebihan adalah musuh utama dari kreativitas, sepertihalnya standarisasi nilai UN, sebuah penilaian yang justru membuat anak stres saat akan ujian, mereka terbebani nilai tinggi yang dipatok oleh sekolah ataupun orang tua, hanya untuk 3 mata pelajaran " istimewa" itu saja, karena sekolah dan orangtua telah melakukan berbagai cara, seperti pengayaan, pendalaman, buku-buku penunjang, dan rangkaian bimbel yang disiapkan, sehingga anak takut mengecewakan mereka semuannya. 

Penilaian itu membelenggu anak dalam mengembangkan potensi dan keunikan mereka, seharusnya kita membiarkan anak belajar sendirinya dengan apa yang disukai tanpa harus terbebani dengan nilai. Sementara itu nilai lebih ditentukan oleh guru berdasarkan keaktifan, kreatvitas, perkembangan kemapuan anak, karakter, serta kelakuan anak di kelas dengan penerapan penilaian portofolio anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun