Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Salus Populi Suprema Lex Esto Tersandera Covid-19

4 April 2020   08:46 Diperbarui: 5 April 2020   08:20 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Indonesia mengonfirmasi adanya kasus Corona (Covid-19) pertama di tanah air pada 2 maret 2020, berbagai macam isu dan perbincangan menghiasi diskusi-diskusi kita akhir-akhir ini. Mulai dari jumlah korban yang setiap harinya mengalami peningkatan, terbatasnya Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis, hingga peran pemerintah dalam memberikan solusi untuk meminimalisir penyebaran virus ini, termasuk solusi Lockdown atau karantina yang masih menjadi pro-kontra diberbagai kalangan. 

Kurangnya kesadaran masyarakat akan dampak yang diakibatkan dari Corona Virus (Covid-19) juga menjadi masalah tersendiri dalam menanggulangi penyebaran virus yang telah menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia saat ini. Nasional kultur masyarakat Indonesia yang terkesan apatis dan kurang disiplin terhadap ancaman menghadapi susatu dan cenderung beraktivitas sesuai kehendak masing-masing akibat tuntutan profesi dan pekerjaan yang pendapatannya di poreleh melalui aktivitas informal. Hal ini tentu tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk tidak berbuat apa-apa atau hanya sibuk dengan himbauan social distancing atau apa pun itu tanpa adanya solusi konkrit yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Saya meyakini bahwa masyarakat Indonesia bukan tidak peduli dengan ancaman dari Covid-19, himbauan social distancing atau Gerakan #dirumahsaja, tetapi ketika mereka tidak melakukan aktivitas pekerjaan yang notabenenya dilakukan diluar rumah maka kebutuhan akan hidup dan kehidupannya juga akan ikut terancam. 

Jikalau Pemerintah dalam hal ini Presiden hanya mampu menghimbau dengan program social distancing atau yang sekarang diganti lagi menjadi Physical Distancing atau himbauan lainnya tanpa mampu mengelola dan memanfaatkan kekuasaan yang sangat besar yang diberikan oleh rakyat dan Konstitusi agar himbauan itu penerapannya dapat terukur, terkontrol, bahkan bisa memaksa, maka public akan kebingungan dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah saat ini.

Barangkali, memang dibutuhkan tindakan tegas dan konkrit dari pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19 ini, selain tentu mengharapkan kesadaran masyarakat akan ancaman yang ditimbulkannya menjadikan trend manusia positif terinfeksi dan yang meninggal akan terus bertambah di negara ini. Karena itu, inilah kiranya menjadi saat yang tepat unruk mewujudkan prinsip yang dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang ahli hukum dan juga filsuf Romawi bahwa Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).

Sehingga pemerintah dalam hal ini presiden, wajib menjalankan amanat dari konstitusi "melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia".  Presiden adalah organ tuggal yang hanya dijabat oleh satu orang saja dengan kekuasaan sangat besar yang dimilikinya. 

Oleh karena itu, dalam kondisi pandemic global yang tiap detik nyawa seorang manusia menjadi terancam, maka produk dari seorang Presiden bukan intrusksi apalagi himbauan, melainkan Keputusan. Oleh karena itu pemerintah harus totalitas dan all out untuk mengerahkan segala kemampuann yang dimiliki untuk menyelamatkan hidup setiap orang. Termasuk kekuatan di sektor ekonomi dan keuangan negara yang harus diakomodasi dalam memerangi covid-19.

Negara-negara lain melalui kebijakannya masing-masing mengerahkan kemampuan keuangan negara untuk perang melawan covid-19. sebagai perbandingan, Presiden Donald Trump mengucurkan 1 triliun dolar AS (setara 15 ribu triliun rupiah) untuk penanganan wabah Covid-19. Perdana Mentri Malaysia, Tan Sri Muhyiddin Yasin beserta seluruh Mentri dan Wakil Mentri menyumbangkan gajinya sebagai bentuk keseriusan dan kesungguhan pemerintah untuk membantu mereka yang terkena dampak pandemic Covid-19. 

Sementara Indonesia menurut Ekonom Senior INDEF Faisal Basri, meniliai bahwa Pemerintah terkesan lebih mementingkan isu dampak ekonominya dibandingkan penanganan Covid-19. Padahal menurutnya, ekonomi Indonesia akan ditentukan dari bagaimana cara pemerintah melawan virus corona. Bahkan Presiden Ghana dalam pidatonya tentang Virus Corona mengatakan bahwa negaranya memiliki apa yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali ekonomi negaranya akibat Covid-19, tapi negaranya tidak tahu bagaimana cara menghidupkan seseorang yang meninggal akibat Covid-19.

Dalam penanganan Covid-19, pemerintah Indonesia berencana akan memberlakukan Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam PERPU No. 23 Tahun 1959 tentang penetapan keadaan Bahaya untuk menunjang kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Jelas ini akan menimbulkan gejolak baru akan keseriusan pemerintah dalam menangani wabah covid-19. Sebab akan menjadi pertanyaan kenapa Presiden Jokowi lebih memilih menerapkan regulasi di era presiden Soekarno yang kondisinya sangat jauh berbeda ketimbang memberlakukan Karantina sebagaimana diatur dalam UU Karantina Kesehatan yang ditanda tangani oleh Presiden Jokowi sendiri. Akan banyak jawaban dan spekulasi yang timbul, tetapi dengan pemberlakuan Darurat Sipil Pemerintah Indonesia akan mengugurkan kewajibannya untuk menanggung segala kebutuhan masyarakatnya akibat pemberlakuan kebijakan penanganan Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun