Mohon tunggu...
Adham Ramadhan
Adham Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hak Pasien dalam Perspektif Pelayanan Medis di Indonesia dan Perkembangannya Selama Pandemi Covid-19

13 April 2021   14:48 Diperbarui: 13 April 2021   15:08 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao


Dasar Hukum


Dasar hukum yang dimiliki oleh pasien terkait dengan hak-hak medis diatur dalam Pasal
52 Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyatakan bahwa "Pasien,
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak : mendapatkan penjelasan
secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain,
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis dan
mendapatkan isi rekam medis. Dalam peraturan ini, pasien mendapatkan perlindungan hukum
serta hak dari setiap perawatan medis yang mereka terima, maka dari itu pasien haruslah
memahami setiap hak yang mereka miliki agar terhindar dari malpraktek atau
kesewenang-wenangan pihak rumah sakit maupun dokter. Perlindungan hukum sendiri menurut
Sajipto (Raharjo:2000) adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM)
yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.Dasar hukum kedua yang digunakan atas hak-hak medis bagi pasien khususnya dalam hal
memberikan informasi medis diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 290 tahun 2008 tentang praktik kedokteran, yang menyatakan bahwa "setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan dokter atau dokter gigi terhadap
pasien harus mendapat persetujuan". Peraturan ini memberikan perlindungan atas perawatan
medis yang akan dilakukan oleh dokter, dengan syarat dokter telah memberikan penjelasan
terkait dengan tindakan medis serta risiko medis yang akan dihadapi oleh pasien. Dokter juga
diwajibkan untuk memberikan penjelasan terkait dengan perawatan medis yang akan dilakukan
oleh pasien, penjelasan ini terdapat dalam Pasal 7 ayat 3 Permenkes No. 29 tahun 2008 tentang
persetujuan tindakan kedokteran yang menyatakan bahwa "Penjelasan tentang tindakan
kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:
A. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
B. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
C. Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
D. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
E. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
F. Perkiraan pembiayaan.
Dengan adanya penjelasan mengenai tindakan medis ini, pasien mampu memahami
variabel apa saja yang dapat menjadi acuan dalam menentukan apakah pasien menerima atau
menolak perawatan medis serta risiko-risikonya. Dasar hukum ketiga yang digunakan apabila
pasien menolak tindakan kedokteran terdapat dalam Pasal 16 Permenkes No. 290 tahun 2008
tentang persetujuan tindakan kedokteran yang menyatakan bahwa "Mengenai penolakan
tindakan kedokteran diatur di dalam Pasal 16 yang mengatakan bahwa: 1. Penolakan tindakan
kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima
penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. 2. Penolakan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis. 3. Akibat penolakan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien. 4.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan
hubungan". Peraturan ini menjadi dasar hukum yang dimiliki oleh pasien apabila dokter telahmenjabarkan penjelasan mengenai tindakan kedokteran yang sebelumnya telah di atur dalam
Pasal 7 ayat 3 Permenkes no 290 tahun 2008.
Dasar hukum terakhir yang digunakan untuk kepentingan menjaga rahasia medis diatur
dalam Pasal 1 Permenkes No. 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran yang menyatakan "(1).
Rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh
tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Rahasia medis juga diatur
dalam Pasal 48 Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang menyatakan
bahwa "(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri". Terkait
dengan ruang lingkup dari rahasia medis, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Permenkes No. 36
tahun 2012 tentang rahasia kedokteran yang menyatakan "(1) Rahasia kedokteran mencakup data
dan informasi mengenai:
a. identitas pasien;
b. kesehatan pasien meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran;
dan c. hal lain yang berkenaan dengan pasien.


Analisis


Hak Pasien serta Perkembangannya Selama Pandemi Covid-19


Setelah memahami berbagai macam hak pasien yang berhubungan dengan pelayanan
medis, kita dapat mengetahui privilege yang dimiliki oleh pasien dalam menerima pelayanan
medis dari rumah sakit. Sangat disayangkan bahwa pada praktiknya, pasien-pasien ini belum
sepenuhnya mengetahui hak-hak mereka, ditambah lagi oknum rumah sakit ataupun dokterseringkali memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan peraturan mengenai hak yang diterima
pasien. Akibat yang ditimbulkan bisanya adalah kesewenang-wenangan penanganan rumah sakit
terhadap pasien yang tidak memahami haknya. Salah satu contohnya adalah penyebaran identitas
pasien Covid-19 yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Saat pertama kali pandemi Covid-19
muncul di Indonesia, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat dua Warga Negara
Indonesia yang menjadi pasien pertama penyebaran Covid-19. Pada awalnya Presiden Joko
Widodo hanya memberikan keterangan pasien Covid-19 ini berdasarkan pada umurnya saja
tanpa mencantumkan identitas pribadi lainnya seperti nama hingga alamat rumah.
Selang beberapa waktu, muncul nama Tisa Sayutami sebagai pasien pertama serta carrier
Virus Covid-19 yang dalam perkembangannya beredar di portal berita hingga media sosial di
Indonesia. Setelah nama pasien Covid-19 ini mencuat, mulai timbul pertanyaan mengenai
bagaimana rumah sakit menjaga kerahasiaan data pasiennya? Hal ini menjadi perhatian lebih
khususnya pada penerapan hak pasien selama terjadinya pandemi, hak atas rahasia medis dengan
mudah bisa bocor ke ruang publik tanpa adanya izin dari pasien terkait. Dari contoh kasus ini
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bentuk implementasi hak pasien di Indonesia
khususnya saat munculnya pandemi Covid-19 membuat hak pasien secara tidak langsung
menjadi bergesekan dengan kepentingan rumah sakit lainnya. Perlu adanya kesadaran lebih
lanjut baik itu dari sisi rumah sakit maupun dari pribadi pasien.

Kesimpulan


Pemenuhan hak pasien menjadi fokus utama yang harus diperhatikan oleh pihak rumah
sakit dan juga kedokteran, pemerintah juga diharapkan ikut aktif dalam membantu menegakan
dan mensosialisasikan hak-hak pasien kepada masyarakat yang awam dengan dunia medis.
Beberapa hak pasien seperti hak atas informasi medis, hak atas persetujuan tindakan medis, hak
untuk menolak perawatan medis hak rahasia medis merupakan basis fundamental yang harus
dipahami oleh pasien saat menerima pelayanan medis Kasus bocornya nama pasien 0 Covid-19
di Indonesia menjadi salah satu contoh dari kurangnya implementasi peraturan hak pasien yang
sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Undang-undang mengenai kedokteran. Pandemi
Coid-19 menjadi tantangan baru yang merubah tatanan medis dunia, Indonesia sebagai salah satu
negara yang terdampak mau tidak mau harus segera menambah atau memperbarui peraturanmedis yang berlaku di Indonesia. Jika Indonesia tidak mengambil langkah lebih lanjut untuk
memperbaharui dan mengubah peraturan medis yang lama, maka peraturan-peraturan lama yang
tidak mampu menyesuaikan diri dengan realitas medis perlahan akan memberikan dampak
negatif baru bagi keberlangsungan dunia medis khususnya di Indonesia.

Daftar Pustaka


Chrisdianto, M.. Pernak -- Pernik Hukum Kedokteran:Melindungi Pasien dan Dokter.
Jakarta:Widya Medika, 1996.


Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Lembar Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 116, dan Tambahan Lembar Negara
(TLN) Nomor 4431.


Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran.
Berita Negara Tahun 2012 Nomor 512

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun