Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kapal Ratu Sandar di Atapupu

24 Februari 2023   19:18 Diperbarui: 25 Februari 2023   12:02 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: wilayah Atapupu  (sumber facebook. El Robby Kapitan)

Tiga hari lamanya rombongan usi Ludo menginap pada rumah kerabat di Ainiba sambil menanti Ratu si primadona sandar di Atapupu[1]. Jung Ratu Rosari, si pendatang  baru di wilayah perairan Hindia, datang langsung dari Eropa membelah Samudra Atlantik dan menantang ombak pada selat kepulauan Nusantara untuk sampai ke wilayah penugasan perdana dan utama di timur Indonesia, pada pulau-pulau kecil, gelap, terpencil dan tertinggal di tenggara, pulau-pulau yang seakan hilang dalam peta nusantara dan baru diketahui pada ruang kelas sekolah saat pelajaran geografi setelah Timor Timur bertintegrasi. 

Tiga  malam berturut-turut mama-mama dan para saudara perempuan mengawasi para pria dengan siaga, mata mereka enggan pejam saat tuan rumah mengganti pijar petromak dengan suluh, kerlap kerlip mata dalam remanga awas terhadap setiap pergerakan, maklum saja rombongan usi Ludo menginap di salah satu pusat plesiran  pelaut dan para pria lokal di daerah itu.

 

"Kapal benteng sandar di jembatan

Tiang tiga layar Sembilan

Dengar kabar bapa mau datang

Celana jengki dasi melintang" [2]

 

Naris dan kedua karibnya bersenandung ketika mulai menuruni perbukitan yang menampakan laut, bait lagu itu mereka dapat ketika masih bersama-sama tinggal di asrama, seorang guru mereka, pak Wiliam Fretes pria setengah abad keturunan Belanda, orang Bonipoi Kupang mengajarkan mereka lagu tersebut, ia dibawa oleh pater Van Rotter dari Kupang sedari lama untuk membantunya menjadi pengajar sekolah di kampung kami. 

Setelah menempuh perjalanan tiga pal kira-kira dari Ainiba, rombongan pengantar anak sekolah tiba di dermaga Atapupu dan untuk pertama kalinya pula rombongan itu melihat hamparan air berwarna biru nan luas sampai ujung horizon pandang, terkesimanya mereka dengan pemandangan yang asing itu. "ikan-ikan besar yang kita makan selama tiga hari terakhir, semuanya berasal dari laut ini" kata usi Ludo kepada rombongan, "enak sekali orang-orang yang tinggal di sini" celetuk Naris pada rombongan "mereka tidak perlu susah pikul air naik turun gunung. Semua sudah tersedia di sini" naif Martin menyambung. "itu air asin kaka" kata Lando menyambar kalimat naif Martin, mendengarnya dengan pongoh semua rombongan serantak tertawa, mereka menertawakan ketidaktahuan mereka karena  pengatahuan itu tak mereka semua dapatkan dari sekolah, mereka buta huruf; yang mereka hafal cuma gambar dan nominal uang.

Sebelum dermaga di fatufeto didarati orang-orang Belanda, Atapupu sudah dikenal oleh pedagang dan pelaut dari seluruh dunia sebagai  dermaga dagang di Timor. Di Atapupu para pedagang dari luar membeli madu, lilin, cendana dan budak dari para penguasa dan pedangan di wilayah setempat sementara para pedangan dari luar pulau menjual gerabah, tembikar, senjata juga kuda kepada para pembelinya. 

Pernah Sewaktu makan malam pada salah satu malam di rumah Ainiba, om Cornelis berkisah kepada kami hikayat tentang Atapupu, ia mengatakan "dulu di sini sangat ramai, banyak orang sinkeh[3] tinggal di sini, Ongko Xang pernah cerita saya kalau dia turunan ke lima yang tinggal di Atapupu, dia dan turunan sebelumnya sudah tidak mau lagi kembali ke negeri asalnya karena merasa lebih nyaman tinggal di Timor. Mereka sebut atapupu itu Atapapena", kami menganga mendengar ceritanya sambil tak lupa mulut terus menguyah pisang rebus dan daging ikan tuna panggang, rasanya manis seperti manisnya buah asam di tempat ini. Ia meneruskan "orang Ainiba dan Silawan bilang (menyebut) Atapupu sebagai Namon Sukaer[4] karena selain hutan bakau, pada bukit dan pantainya banyak ditumbuhi pohon asam", Even menyambungnya "berarti pribahasa asam di gunung garam di laut tidak benar", yang lain tertawa garing dengan mulut masih dipenuhi pisang rebus. 

Wajah om Cornelis nampak serius ketika kami yang lain tertawa mendengar celoteh Even si anak remaja dari kampung, sorot matanya serius terkena cahaya lampu petromak. Ia bercerita lanjut "Atapupu[5] itu berarti orang buangan atau budak, karena tempat itu sebelumnya jadi pasar penjualan manusia, pedagang dari luar pulau datang angkut mereka ke atas kapal dan entah dibawa ke mana, tempat kami ini banyak menumpahkan darah dan air mata". Ketika mendengar cerita om Cornelis seketika merinding bulu roma kami ditambah lagi malam temaram membuat hembusan udara dingin  terasa angker, niat syahwat para pria ke tempat pelesiran pada malam itu akhirnya terkubur bersama cerita om Cornelis,  Malam gelap membawa kami balik ke tikar dalam senyap.

Sayang perlahan-lahan dermaga ini mulai jarang disinggahi para pedangan dan pelancong saat cendana telah tumpas habis diangkut kapal dengan layar-layar putih besar menuju barat ditambah lagi ketika Belanda berhasil menang atas para topas[5] di perang Penfui, sesaat setelahnya perusahaan dagang Belanda mulai mengalihkan pusat pemerintah dan administrasi di Kapan dan Oekusi ke Kupang, mulai membikin benteng Fort Concordia, dermaga di Fatufeto, pasar dan permukiman  di Kupang pun dengan segera bertumbuh. Dermaga yang pernah bikin sibuk warga itu perlahan sepi dan tertidur senyap dibuai semilir tiupan angin pada daun hutan bakau di bibir pantai, belayan ombak pergi datang bawa hanyut cerita dan ingatan para penduduk dan nelayan setempat tentang masa jaya mereka.

Ketika melewati perbukitan kecil yang menghalangi laut, nampak di depan mereka dermaga dan jung baja bertiang dua, lambung kapal itu dicat putih, jung itu tampak menyolok di antara pinisi dan lampara nelayan yang kebutulan juga menambatkan tali pada dermaga. Mendekati dermaga, situasi tampak ramai dengan warga lokal hendak menonton secara dekat jung buatan Jerman dan menjadi alat transportasi kebanggaan orang NTT, jung ini akan mewujudkan mimpi banyak pemuda-pemudi asal pulau-pulau kecil di timur Sunda Kecil, memburu mimpi serta ingin menjadi besar seperti halnya bapak Frans Seda, sang pelita dari timur yang bernyala-nyala mengerangi Indonesia, Namanya sewangi cendana terbaik dari hutan-hutan di kaki gunung Mutis, bulu roma setiap para pemuda akan bergidik ketika mendengar namanya disebut penyiar radio RRI. Setiap kami ingin seperti dia dan kapal ratu akan membawa kami lebih dekat dengan mimpi kami, mimpi meraih gelar dan sukses di tanah Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun