Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekolah

8 Februari 2023   14:30 Diperbarui: 8 Februari 2023   14:32 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Seminari Pematang Siantar Gallery

Hujan baru saja selesai sore itu saat Even, Lando dan Naris menjejaki jalan bebatuan krikil basah menuju rumah mereka, melintasi tiga perkampungan untuk mencapai desa. Perjalanan pulang ke rumah begitu menggembirakan bagi ketiga remaja dari desa Kuanfatu, ketiga anak itu seperti baru mendapat harta karun dalam otak mereka selepas pulang dari pendopo pasotoran pater Van Rotter. Mereka bertiga bersama  dengan remaja dari desa lain dikumpulkan oleh pastor Belanda itu untuk mendengarkan arahan dari seorang pamong  dinas PdanK kabupaten tentang penerimaan tahun ajaran baru bagi perserta didik jenjang perguruan tinggi di pulau Jawa. Bagi anak-anak di wilayah timur, masuk ke perguruan tinggi di pulau Jawa bisa jadi hadiah terindah dalam hidup anak-anak ini. Even dan kawan-kawan langsung membayangkan bisa menikmati keistimewaan menjadi penduduk kota, jalanan yang padat dengan mobil sedan, gedung perkantoran dan hotal bertingkat serta kompleks kampus yang menggairahkan. Seketika sepanjang perjalanan dari pastoran ke rumah mereka dibanjiri dengan ingatan monokrom yang sempat mereka lihat di kamar makan bruder Anton, saat mereka masih mengenyam pendidikan sekolah asrama di Kiupukan. Biasanya setiap malam selepas makan malam bruder Anton akan membuka dua daun pintu kamar makan lebar-lebar agar anak asrama dapat menonton televisi hitam putih pada salasar ruang kamar makan, ini jadi hal paling menyenangkan dari sekolah misi, disaat masyarakat di luar pagar asrama masih berjuang melawan malam dengan lampu tioek serta ditemani bunyi jangkrik dan tingkah usil nyamuk menyambangi telinga, anak-anak asrama putra paroki sudah dimanjakan bruder Anton dengan siraman cahaya lampu pijar serta hiburan televisi yang boleh mereka nikmati selama sejam setiap harinya kecuali hari sabtu dan minggu. Dari sinilah Even, Lando dan Naris mengenal pulau Jawa.

Itu tahun 1970 saat Even, Lando dan Naris tampat sekolah, Indonesia sedang lagi susah-susahnya apa lagi di wilayah pulau Timor, lebih susah tentunya. Akses dari satu kota ke kota yang lain masih terputus, warga mengusahakan mengunjungi ke kota lain dengan berjalan kaki, menggunakan kuda atau bisa menginap dijalan utama untuk menunggu truk proyek melintas. Jalan utama di kecamatan seperti halaman rumah tak berpenghuni, tak terawat, sepih, cuma sesekali dilewati oleh gerobak kuda milik ongko Ming untuk mengambil asam yang sudah dikumpulkan oleh masyarakat di desa-desa sekitar.  Alat transportasi jadi hal yang mewah bagi masyarakat Timor, mobil hartop hanya dimiliki oleh para bruder dan pastor dibengkel misi serta pastoran, menempuh perjalanan jauh terasa mustahil buat penduduk di pulau ini.

Sesampai di rumah, hari sudah malam tepatnya pas jam makan malam keluarga. Mama Tres dan bapa Norbert berserta kelima anak lainnya sudah berkumpul mengitari meja makan yang menyatu dengan dapur mama, terdapat dua bangku panjang pada kedua sisi meja makan, anak-anak dan mama Tres berderet duduk mengisi kedua sisi meja tersebut, sementara bapa Norbert jadi kepala meja. Naris masuk lewat pintu dapur dan memberi salam ketika bapa Norbert baru selesai memimpin doa makan malam. Naris ikut bergabung pada meja makan untuk makan malam bersama, dengan suara ceria Naris bertanya pada mamanya, "masak apa malam ini ma?", cahaya lampu tioek yang menerangi meja makan itu memberi jawab kepada Naris, menu malam jagung ketemak disertai sub pucuk labu kuning siap disantap oleh keluarga Norbert,  sambil dengan sabar menunggu mama membagi jatah pada piring masing-masing anggota keluarga. Makan malam diisi dengan cerita Naris tetang pertemuan mereka dengan pamong dari kabupaten siang tadi, sementara kelima anak lain saling rebut, sibuk rebutan sisa pembagian jagung ketemak dari mangkuk besi itu.

Setelah selesai makan kelima anak itu lekas berhamburan mencari terang lain di ruang depan seperti laron mencari cahaya pijar pada selasar depan kamar makan bruder Anton; Naris, bapa Norbert dan mama Tres masih duduk di meja makan sambil memunggungi api pada tungku mama yang masih menyala, di luar hujan datang mengguyur desa kami lagi. Kata nampak susah meloncat keluar dari lidah Naris sampai-sampai wajahnya nampak merah padam seperti arang dijilat api pada tungku dibelakangnya. Bapa Norbert membuka kata, "pater Van Rotter omong apa?", dengan ringan bibir Naris mulai mengucap kata "pater ajak pamong datang ke pastoran untuk cerita tentang kuliah di Jawa?"

Bapa Norbert langsung menyergap dengan tanya "anak mau kuliah di Jawa?"

Mulut Naris nampak kaku namun muncul sebersit harapan dan senang saat mendengar bapanya bertanya, "saya mau kuliah ke Jawa, saya, Even dan Lando sudah sepakat mau kuliah ke Jawa", kata Naris sambil menyambung kata lagi, "pater Van Rotter cerita katanya ada sekolah keguruan bagus di Jogja, namanya Sanata Dharma. Kami tiga mau ke sana Bapa?"

"Jogja itu di Jakartakah?" tanya bapa Norbert polos.

"Bukan bapa, Jogja itu dekat Jawa Tengah. Masih di satu pulau yang sama" Jawab Naris bersemangat.

"kata pater sebaiknya kami sekolah keguruan biar nanti bisa pulang bantu mengajar di sekolah asrama punya paroki". Lanjut Naris untuk menguatkan argumen di depan kedua orangtuanya.

"Naris, bapa senang kau mau lanjut sekolah lagi" kalimat keluar dari mulut mama Tres menyambung cerita Naris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun