Mohon tunggu...
Aderina Naomi
Aderina Naomi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa jurusan psikologi di Universitas Airlangga yang memiliki minat yang besar terhadap isu soaial dan self-development.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Layar: Harga Sesungguhnya dari Sehelai Pakaian

26 Mei 2023   17:00 Diperbarui: 26 Mei 2023   17:08 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Fast fashion is a junk food." 

Begitulah kata Livia Firth, co-founder dan direktur kreatif Eco-Age yang merupakan sebuah agensi konsultasi dan kreatif terkemuka yang berfokus pada keberlanjutan yang terintegrasi. Ini adalah sebuah analogi yang menarik. Dunia masa kini yang berporos pada media sosial dipenuhi oleh para influencer yang berlomba-lomba menyuguhkan micro trends yang ditelan mentah-mentah oleh audiens dan konsumerisme mereka. 

Merk fashion yang merespon akan hal ini tidak ubahnya seperti restoran cepat saji yang menyuguhkan junk food rendah nutrisi tapi adiktif yang membuat mereka ingin lagi-lagi. 

Dengan memanfaatkan momentum ini, tidak heran jika statistik industri fashion menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dilansir dari AMPLYFi, statistik industri fashion menunjukkan peningkatan pengeluaran untuk pakaian selama 15 tahun terakhir. Pada tahun 2005, rumah tangga di Inggris Raya membelanjakan sekitar 30 miliar ($39,4 miliar USD) untuk pakaian jadi meningkat menjadi sekitar 60 miliar ($78 miliar USD) pada tahun 2020; hampir dua kali lipat dalam 15 tahun.

Berkaca pada statistika tersebut, kita dapat menarik benang merah bahwa industri fast fashion telah mengubah cara kita mengonsumsi pakaian, menawarkan aliran pakaian yang trendi dan terjangkau dengan mudah. Namun, di balik kemewahan dan hingar bingar itu, ada kenyataan pahit bagi para pekerja di negara dunia ketiga, khususnya perempuan. Harpreet Kaur dalam artikelnya "Low wages, unsafe conditions and harassment: fashion must do more to protect female workers", menyebutkan bahwa sekira-kiranya 80% dari pekerja tekstil dunia adalah perempuan. Angka tersebut mungkin terdengar memberdayakan. Namun, mengejar tren fast fashion yang selalu berubah harus dibayar mahal, dengan perempuan menanggung beban praktik kerja eksploitatif dan kualitas kesejahteraan tenaga kerja yang tidak memadai.

Salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi wanita di industri fast fashion adalah upah rendah. Dalam pencarian tanpa henti mereka untuk menawarkan pakaian murah, merek fashion sering menekan margin keuntungan dengan mengorbankan kompensasi yang adil bagi para pekerja. Perempuan, yang merupakan bagian penting dari tenaga kerja industri, seringkali dikenakan upah yang hampir tidak dapat menutupi kebutuhan dasar mereka. 

Pakaian yang dihasilkan oleh retail pakaian terbesar kedua di dunia, H&M, 80% berasal dari pabrik-pabrik di negara Asia yang pekerjanya mendapatkan upah yang tidak layak. Setelah mendapatkan perhatian publik pada tahun 2015, H&M berjanji untuk memberlakukan fair wage method kepada pabrik-pabrik mereka yang berada di India, Bangladesh, dan Kamboja. 

Solusi ini digadang-gadang akan menaikkan upah mereka sembari mengizinkan beberapa perwakilan bagi serikat pekerja. Namun, realita yang diwakilkan oleh data menunjukkan bahwa perusahaan asal Swedia tersebut hanya membuat secuil kemajuan yang sangat terlambat dari jadwal mereka dan tidak menindak lanjuti isu ini secara menyeluruh. Penanganan yang sembrono dan tidak tepat sasaran ini juga turut melanggengkan siklus kemiskinan dan membatasi prospek kemajuan ekonomi pekerja wanita yang telah mempertaruhkan mereka selama berjam-jam demi sehelai pakaian.

Memperparah isu upah yang telah ada adalah prevalensi kondisi kerja yang tidak aman. Banyak pabrik fast fashion di negara-negara dunia ketiga tidak memiliki langkah-langkah keamanan yang memadai; membuat wanita terpapar berbagai bahaya kesehatan. Pabrik-pabrik ini sering ditandai dengan ventilasi yang buruk, peralatan di bawah standar, dan paparan bahan kimia berbahaya. Masih dengan H&M, kita akan mendapatkan gambaran yang nyata tentang bahaya apa yang dihadapi perempuan di lingkungan kerja mereka. Grafik yang disusun secara kolektif oleh Clean Clothes Campaign, International Labor Rights Forum, Maquila Solidarity Network, dan Worker Rights Consortium menunjukkan bahwa 60% pabrik emas dan platinum mereka belum memiliki pintu darurat yang memadai. Aspek keamanan yang tidak memadai seperti inilah yang membuat 50 orang meninggal terjebak saat kebakaran pada salah satu pabrik H&M di Bangladesh.


"Setiap pabrik yang tidak memiliki penutup tangga dan pintu api tetapi tidak mengatasi bahaya ini secara efektif tak ubahnya seperti jebakan maut."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun