Mohon tunggu...
Adenzha Rizqi Besatyalovu
Adenzha Rizqi Besatyalovu Mohon Tunggu... Animator - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang pasif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlukah Kesetaraan Gender di Indonesia?

22 Mei 2019   17:01 Diperbarui: 22 Mei 2019   17:26 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbeda dengan jaman dahulu, kesenjangan antara laki-laki dengan perempuan sudah tak terasa lagi perbedaannya. Semuanya terasa baik-baik saja seperti kesempatan yang sama dan setara. Namun faktanya, jika di lihat dari jumlah pemimpin dunia, mentri-mentri di Indonesia posisi karir untuk wanita masih terdapat kesenjangan dalam karir. Dari pernyataan tersebut, timbullah pertanyaan. Perlukah kesetaraan gender di Indonesia?

Bisa di bilang, kesetaraan gender belum bisa di rasakan semua perempuan. Kami setara, tapi belum sepenuhnya merata. Masalah terbesar kemungkinan dari pernikahan anak yang faktanya 15% anak perempuan di Indonesia menikah di umur kurang dari 18 tahun (Unicef, Maret 2018). Selain hal tersebut yang membahayakan kesehatan, dapat meningkatkan lingkaran kemiskinan yang tinggi karena kehilangan hak untuk sekolah, membuat kekuatan ekonomi melemah, sampai nantinya kembali kesiklus yang sama berujung keterbiasaan yang membudaya. Hal tersebut seharusnya di hentikan.

Kabar baiknya, pemerintah di Indonesia merancang peraturan yang menaikkan batas minimal perempuan untuk menikah. Lalu, apa hal tersebut bisa mengatasi permasalahan yang di hadapi perempuan di Indonesia? Seperti halnya cat calling, pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, hingga stereotip tradisional yang mengharuskan wanita untuk selalu mengurusi pekerjaan rumah tangga. Meski menjadi ibu rumah tangga merupakan pekerjaan mulia, namun perempuan masih kebingungan antara karir atau rumah tangga dan menimbulkan persaingan yang tidak setara dengan laki-laki. Karena, lapangan pekerjaan membentuk laki-laki untuk superior dalam berkarir. Namun, kaum fenimis tidaklah semata-mata perempuan. Laki-laki punjuga termasuk kaum feminis. Contohnya ingin menyamakan peluang kerja di ruang publik, dan fasilitas pekerjaan. Banyak pekerjaan yang sebenarnya bisa dipekerjakan oleh perempuan. Tetapi karena streotype masyarakat. Belum lagi ketika ada pemutusan hubungan kerja, kaum perempuan seringkali dirugikan karena kaum perempuan yang di phk duluan. Peluang kerja yang dimiliki perempuan pun cenderung lebih sedikit untuk perempuan. Namun, beberapa pekerjaan yang "katanya" bidang perempuan contohnya bidan, koki, perawat dan sebagainya justru laki-laki pun bekerja disitu juga.

Keseteraan gender mungkin identik dengan perjuangan untuk perempuan, tetapi realitanya kesetaraan gender tidak semata-mata untuk perempuan saja. Kesetaraan gender diupayakan oleh kaum feminis untuk memangkas hak-hak yang selama ini bisa dinikmati oleh pria supaya bisa juga debrikan haknya terhadap perempuan. Jadi pada realitanya laki-laki menjadi dirugikan dalam hal pengupayaan kesetaraan gender.

Ada banyak panutan perempuan yang berhasil menunjukkan kalau perempuan bisa untuk memimpin. Pendidikan yang terbuka seperti sekarang juga harus dimanfaat semaksimal mungkin agar perempuan bisa juga membuktikan bahwa perempuan bisa seperti laki-laki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun