Kebahagiaan bergantung pada diri kita sendiri, ungkap Aristoteles. Pepatah ini menjadi pemantik kesadaran untuk kita yang sibuk mencari "kebahagiaan".
Media sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Penelitian oleh INVERTED: Journal of Information Technology Education (2023) menunjukkan bahwa jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai angka yang fantastis yaitu 167 juta orang atau sekitar 60,4% dari jumlah penduduk Indonesia.
Seperti fenomena yang kita lihat di ruang publik saat ini, banyak orang sibuk menatap layar gadget mereka. Gestur dan ekspresi wajah yang ditunjukkan seolah menjadi bukti bahwa mereka sedang mencari "kebahagiaan" melalui media sosial yang ada di layar ponsel mereka.
"Kebahagiaan" virtual
Dalam media sosial ada begitu banyak jenis kebahagiaan yang ditampilkan. Kebahagiaan itu sering kali ditampilkan dalam bentuk kisah-kisah menarik, liburan, pencapaian karir, atau momen kebersamaan yang hangat. Postingan-postingan seperti itu menampakkan kebahagiaan yang agaknya tanpa cela sama sekali. Namun apakah kemudian itu adalah sebuah kebahagiaan yang sejati atau hanya satu momen "bahagia" dari sekian momen buruk yang mungkin tidak ditampakkan?
Memang media sosial di lain sisi memberikan begitu banyak kemudahan, sebut saja akses ke informasi dan komunikasi. Dengan adanya media sosial, kita dapat mengeksplor dunia seolah-olah tanpa sekat lagi. Namun tetap perlu adanya kontrol dan kebijakan dalam menggunakannya, agar media sosial menjadi ruang interaksi yang inklusif, etis dan aman.
Namun, yang paling menyedihkan dari penggunaan media sosial adalah bagaimana hal itu telah memengaruhi cara setiap orang mendefinisikan kebahagiaan. Ada begitu banyak platform digital yang menjadi ajang promosi kebahagiaan secara visual. Facebook, Tiktok, Instagram, dan X (Tweeter) menjadi media untuk menciptakan validasi dan kebahagiaan yang semu. Fenomena ini bahkan membuat orang-orang menakar kebahagiaan dengan jumlah like, komentar dan pengikut di media sosial. Hal itu mencerminkan bagaimana media sosial telah mengakar kuat dalam lini kehidupan kita dan menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan bisa diraih dengan citra yang sempurna dan pengakuan orang lain. Namun sesungguhnya kebahagiaan yang sejati lebih bersifat personal dan tidak dapat diukur dari tampilan luar.
Di sinilah kemudian muncul sebuah dilema; bagaimana setiap orang harus menemukan kebahagiaan yang sejati di tengah pengaruh media sosial yang menawarkan kebahagiaan yang instan.
Mencapai eudamonia Aristoteles
Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan sebagai sebuah eudamonia. Paham ini mau menyoroti bahwa kebahagiaan itu adalah hal yang melampaui kesenangan emosional yang kadangkala sifatnya temporal. Dengan konsep ini, Aristoteles merumuskan kebahagiaan sebagai cara hidup yang baik, yang memungkinkan manusia sampai pada kebajikan dan hidup rasional, lalu pada akhirnya mengarah pada kebahagiaan sejati.Â
Lebih dari itu, eudamonia mencerminkan sikap manusia yang berusaha untuk mencari kebahagian. Kebahagiaan yang disebut sebagai keutamaan itu dapat diperoleh dari perenungan dan ketaatan akan norma atau standar moral yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebahagiaan sesungguhnya diperoleh dari pencapaian kebaikan yang berasal dari dalam diri sendiri. Singkatnya, Â bahwa kebahagiaan akan muncul ketika seseorang mampu menyadari kodrat hidupnya dan menghidupinya dengan prinsip-prinsip kebajikan, yaitu: integritas, keberanian, kebijaksanaan dan keadilan.