Mohon tunggu...
Adelstein
Adelstein Mohon Tunggu... .

Kebebasan sejati bukanlah melarikan diri dari aturan, tetapi kemampuan untuk memilih aturan yang kita ikuti.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Negara Hukum, Tapi Hukum Siapa?

26 Februari 2025   20:56 Diperbarui: 26 Februari 2025   20:56 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada ketimpangan dalam hukum Indonesia: "...yang kaya bisa tersenyum di pengadilan, sementara yang miskin sibuk menghitung hari di balik jeruji."

Hampir semua elemen masyarakat tahu bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagaimana yang dituliskan dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Konstitusi dengan lantang menyatakan bahwa hukum adalah panglima bagi negara kita. Namun, dalam praktiknya, hukum lebih sering berperan sebagai wasit yang pilih-pilih tim mana yang hendak dimenangkan.

Sebagai rakyat biasa, kecil kemungkinan untuk bisa mengakali sistem. Salah sedikit, ancaman pidana sudah menanti. Mengkritik pemerintah? Bisa dijerat pasal karet. Berjualan tanpa izin? Pasal diterbitkan secepat kilat. Parkir sembarangan? Tilang menunggu. Tapi coba tengok ke atas, pada kasus yang lalu-lalu. Para elite yang melakukan kasus korupsi, pencucian uang atau penyalahgunaan wewenang bisa tetap tersenyum seolah tidak ada masalah. Kalau ketahuan pun, mereka hanya akan diberi hukuman yang relatif lebih ringan.

Fenomena ini menciptakan hierarki hukum yang tak kasat mata. Ada hukum yang ditujukan untuk rakyat kecil dan ada hukum untuk mereka yang punya uang dan kekuasaan. Seorang yang mencuri pisang karena lapar, bisa mendekam bertahun-tahun di penjara. Tapi jika para elit papan atas yang melakukan korupsi, hukum menjadi fleksibel: mulai dari alasan kesehatan, jasa bagi negara, hingga diberi tanggungan hukum yang ringan. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya apakah hukum benar-benar berlaku adil untuk semua.

Mari kita simak beberapa contoh nyata. Ingat kasus nenek Minah yang dipidana karena mencuri tiga buah kakao dari perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) di Banyumas, pada tahun 2009. Ia harus menghadapi putusan pengadilan dengan vonis hukuman yang tentunya memberatkan untuk usianya yang sudah tua, sementara koruptor kelas kakap bisa menikmati fasilitas mewah dalam tahanan. Bandingkan juga kasus suap yang dilakukan para pejabat, seringkali mereka mendapat hukuman yang dikurangi dalam banding, atau bahkan bisa dibebaskan dengan alasan teknis.

Belum lagi kasus-kasus besar seperti korupsi e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah, tetapi beberapa pelakunya masih bisa bebas beraktivitas setelah menjalani hukuman yang relatif ringan. Atau kasus penganiayaan terhadap sopir taksi online yang dilakukan oleh aparat hanya berujung pada permintaan maaf dan hukuman minimal. Bandingkan dengan rakyat biasa yang sering kali mendapat perlakuan hukum yang jauh lebih tegas bahkan dalam kasus-kasus kecil. Melakukan pelanggaran untuk mempertahankan hidup mendapat sanksi yang lebih berat daripada pelanggaran yang dilakukan karena niat yang buruk.

Hal yang lebih lucu dan menarik adalah bahwa hukum di Indonesia bisa fleksibel sesuai kepentingan. Jika suatu kebijakan dianggap merugikan rakyat, pihak berwenang bisa segera mengambil keputusan tanpa banyak hambatan. Namun, ketika kebijakan tersebut berkaitan dengan kepentingan segelintir orang berkuasa atau elit, prosesnya justru diperlambat, dibuat rumit, atau bahkan ditunda hingga rakyat lupa bahwa kebijakan tersebut pernah dijanjikan.

Mungkin itulah definisi keadilan di Indonesia: adil bagi mereka yang memiliki akses terhadap hukum, dan menekan bagi mereka yang hanya bisa tunduk tanpa pilihan.

Jadi, negara kita adalah negara hukum. Tapi hukum siapa? Mungkin jawabannya bisa kita temukan di senyum para pejabat yang keluar dari persidangan, atau di tangis rakyat kecil yang terpaksa menerima vonis tanpa daya. Pada akhirnya, hukum di negeri ini bukan tentang keadilan, tetapi tentang siapa yang memiliki kuasa untuk menentukannya. Itu pertanyaan yang mungkin hanya bisa dijawab oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk memutuskannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun