Mohon tunggu...
Adellia Maragetha Kuswandi
Adellia Maragetha Kuswandi Mohon Tunggu... Freelancer - Murid SMA N 1 Padalarang

Kebahagiaan Merupakan Segalanya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tentang Kehilangan

2 Februari 2020   14:02 Diperbarui: 2 Februari 2020   14:14 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita ini bermula di suatu pagi yang cerah di penghujung bulan Desember. Tepatnya tanggal 30 Desember 1999, bertepatan dengan hari ulang tahunku. Matahari menyambutku dengan senyuman. Gorden jendela kamarku terbuka, udara dingin menyapa merasuk ke dalam kamar membuat bulu kudukku berdiri. Cahaya matahari mulai menembus balik tirai jendela kamarku. Sinarnya menyilaukan mata. Hingga, membuat mataku terbuka dalam nyenyaknya tidur semalam.
    " Selamat Ulang Tahun Anakku sayang, usiamu tepat 18 tahun semoga kamu menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua dan menjadi orang sukses" kupeluk Mama erat dan ku elus dada Mama yang mulai meneteskan air mata.
   Rasanya air mata ini mau menetes setiap Mama menciumku, bagaimana bisa ada wanita sebaik ini, aku bukan anak kandungnya tapi dia sangat mengasihiku tetap mengurus semua keperluanku, sampai sekarang aku tidak bisa mengurus diriku dengan benar karena Mama yang selalu memanjakanku.
   Ayah mengejutkanku dengan membawa sebuah kue yang berlilinkan tanda 18 tahun. Aku sangat menyayangi ayahku walaupun ayah selalu sibuk dengan pekerjaanya di kantor, Ayahku merupakan ayah yang sangat hebat. Tidak akan ada yang dapat menggantikkan ayah dihidupku, dan tidak  akan ada yang dapat menggantikkan ibu dihidupku meskipun sudah ada Mama yang selalu disampingku tetapi ibu nomer satu dihatiku.
   " Selamat Ulang Tahun anak Ayah, yang cantik jelita " Tumpahlah air mataku disaat ayah memelukku, aku kembali mengingat ingat yang terjadi padaku. Yang takkan pernah aku lupakan. Dengan air mata yang bercucuran tanpa henti. Aku mengingat ibuku yang telah tenang di alam surga sana.
   " Kenapa kamu menangis sayang, apakah kamu merindukkan ibumu " Ayahku mengusap air matakku, dan menyuruhku untuk meniup lilin yang bertanda 18 tahun.
   Hatiku mulai merasa sedih, karena teringat akan sosok ibu yang telah meninggalkan ku diwaktu ku masih kecil. Namun, aku tetap harus menunjukkan kebahagiaanku dihari istimewahku bersama Ayah dan Mama yang selalu menyayangiku.
   Aku memeluk erat Ayah dan Mama, lalu mama menciumku untuk kesekian kalinya dan menyuruhku untuk mandi, karena hari ini adalah hari pertamaku untuk masuk sekolah lagi.
Aku pergi ke kamar mandi dan langsung menanggalkan handuk, lalu membasahi sekujur tubuhku dengan air dingin yang akan menusuk tulangku saat air membasahi tubuhku.
   " Kamu jangan sampai terlambat, Lula!" Teriak Mama dari lantai bawah rumah. Mama sedang menyiapkan sarapan kesukaanku yaitu roti panggang dengan isian telor setengah matang di dalamnya.
   Sementara Ayah terus saja menyalakan klaksonnya, akupun berlari menghampiri Mama terlebih dahulu. Dia selalu merapihkan rambut panjangku yang tergerai, dengan membawa bekal buatan Mama akupun lari tergesa gesa untuk masuk mobil Ayah.
   " Kita sudah terlambat. Aduh kenapa kota ini tiba tiba ramai sekali dan membuat macet jalanan saja, '' Ayah mengeluh, berusaha menerobos kepadatan jalan.
   Pukul 06.00 jalanan kota memang ramai oleh para pekerja dan anak anak sekolah yang berangkat. Pemilik toko, Pegawai kantor, Ibu-ibu pergi ke pasar, semua memulai aktivitasnya. Puluhan anak-anak sekolah dan pejalan kaki menunggu lampu merah berganti hijau, lantas serempak menyeberang.
   Hari ini adalah hari pertamaku melaksanakan kegiatan sekolah di kelas 12, itulah yang menyebabkan diriku harus pagi-pagi sekali untuk sampai kesekolah. Aku berangkat dengan ayahku, karena kantor ayahku satu arah dengan sekolahku.
   Setelah mobil ayahku melaju sekitar 3 km, akhirnya aku sampai disekolah. Dengan cekatan aku menuju gerbang sekolah dan menaiki anak tangga menuju kelasku berada. Bersama dengan puluhan siswa lainnya, mereka melangkah tidak kalah gesit.
   Setibanya di pintu kelas, Aku menyimpan tas ku, lalu menempati tempat duduk. Beberapa siswa dikelas menyapaku dengan hangat. Lima menit kemudian, bel berbunyi, siswa berhamburan keluar kelas menuju lapangan untuk melaksanakkan upacara di awal semester. Pak Jaka berpidato kurang lebih 25 menit, beliau menyampaikan banyak nasihat kepada murid-muridnya terutama bagi kelas 12. Beliau menyampaikan agar kelas 12 bisa belajar dengan giat lagi karena akan melaksanakan banyak sekali ujian-ujian yang diadakan , baik ujian sekolah, ujian nasional dan ujian praktik. Ia juga menyampaikan agar kita selalu menghormati kedua orang tua dan guru, rajin belajar, juju, rajin ibadah dan tidak menyianyiakan waktu dengan memainkan gadget.
Menjelang siang, matahari tepat dikepalaku. Anak-anak berhamburan keluar kelas menuju kantin. Aku duduk dengan Zakia, kita berdua menikmati es campur dari warung Bu Mimin. Kita mengobrol penuh dengan canda tawa,Disaat ia menceritakan sosok ibunya yang sangat jago sekali memasak disitu aku hanya bisa diam.Dan aku hanya melamun saja, tidak sengaja aku menyenggol gelasku. Hati dan pikiranku tidak enak, tetapi Zakia mencoba untuk menenagkanku.
" Knapa Lula, kamu bengong saja dari tadi apakah ada masalah ?"
" Tidak Zakia aku hanya tidak enak hati saja "
" Sudah jangan dipikirin, tidak akan terjadi apa-apa kok "
Setelah dua puluh menit di Kantin,bel pun berbunyi. Aku dan Zakia cepat cepat memasuki kelas karena, pelajaran ke-lima adalah pelajaran Pak Agus. Kita berdua takut terlambat, karena beliau membuat peraturan apabila kita telat sedetikpun kita dianggap alpa pada saat pelajaran matematika. Untungnya aku dan zakia tidak terlambat.
" hahaha, gila sih tadi cape banget Zakia "
" sama aku juga cape banget Lul, untung kita gatelat "
" Iya Zakia "
Aku belajar seperti biasa, pak Agus menyampaikan beberapa hal sebelum pelajaran dimulai ia mengingatkan kepada kelas 12 agar segera membayar spp. Pada saat Pak Agus menerangkan mengenai Trigonometri, entah kenapa namaku disebut dispeaker yang ada disetiap kelas. Ternyata pamanku datang meminta guru piket untuk mengijinkan aku pulang karena ada sesuatu hal yang penting. Tapi paman tidak memberitahu hal penting apa yang ada dirumah.
" Ya ampun Paman kenapa engga kasih tahu ajasih" kataku dalam hati.
Setelah sampai dirumah aku melihat banyak sekali orang dirumahku, aku kebingungan, pikiranku kemana mana. Mama sudah mengguku didepan, aku bingung mengapa mama menangis.
" Mama kenapa " tanyaku pada mama sembari menghapus air matanya. Aku bingung mama hanya diam saja dan semua orang yang ada dirumahku menangis dan memelukku.
Tumpah air mataku disaat aku melihat jenazah ayah diruang tamu rumah. Pecah, sepecah pecahnya Bak disambar petir yang mengelegar. Menyaksikan sosok ayah yang sangat aku sayangi terbujur kaku diatas dipan terbungkus kain kapan. Jenazah ayah terbaring ditemani lantunan surat Yasin.
Aku menangis tanpa air mata, melihat pemakan Ayah yang sedang berlangsung. Aku tidak kuat menghadapi ini semua. Kedua orang tuaku sudah tenang di alam surga sana. Aku meratapi kehidupanku. Yang kulakukan hanya bisa memeluk erat nisan Ayah saat itu.
Seminggu setelah kepergian ayahku aku hanya bisa berdiam diri saja mengurung diri didalam kamar dan selalu menangis. Seharusnya aku bisa tegar, tetapi aku menggangap semua ini tidak adil bagi hidupku. Aku kehilangan ibu sejak kecil saja sudah membuat aku putus asa ditambah sekarang aku kehilangan ayah, aku seperti tidak ada semngat untuk hidup.
Akhirnya Mama menjadi tulang punggung keluarga sendirian, dulu mama yang mengurus keperluanku sekarang. Bahkan sekarang aku mencuci baju, mencuci piring dan membereskan rumahku sendiri. Mama tidak ada waktu untuk mengurusku, mama sibuk dengan pekerjaannya sekarang.
Aku ingat sekali saat itu, Aku sakit, karena kelelahan mengerjakan tugas dari sekolah dan bekerja seharian dirumah. Tanganku lemas, hingga tidak bisa menyentuh dan melakukan apapun. Mama terlalu sibuk hingga ia tidak sadar bahwa aku sedang sakit.
Kemudian aku merasa hidupku tidak berguna dan aku merasa sudah tidak ada lagi yang menyayangiku. Ibuku sudah tiada, ayahku juga sudah tenang di alam surga sana. Dan mama sekarang sudah sibuk dengan pekerjaan dia. Aku seperti kehilangan arah, tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke dokter sendiri, walaupun aku tidak kuat tetapi aku memaksakan untuk naik angkutan umum. Sampainya didokter aku diperiksa oleh dokter tinggi, putih, berparas ganteng. Senyumnya membuat semua para pasien mendadak sembuh.
" Boleh saya periksa ?"
" Silahkan dokter "
" Bagian mana yang terasa sakit ? Apakah adek mual-mual ?"
" Saya hanya lemas saja dok dan sedikit pusing "
Setelah beberapa menit aku diperiksa, dokter menganjurkanku untuk tidak kecapean. Dan beristirahat dengan cukup, dokter ganteng itu memberikan resep obat untuk dibeli di apotek. Belum sempatku bertanya siapa dokter itu, suster telah menyuruhku keluar karena pasien lain sudah menunggu diluar.
Di apotek aku membaca resep dokter dan diberikan kepada apoteker
" Ini mba resepnya "
" Baik de, tunggu sebentar ya "
Aku menunggu begitu lama, karena begitu banyak yang datang ke apotek tersebut.
" LULA "
" Akhirnya namaku dipanggil juga " Ucapku dalam hati
Apoteker tersebut memberikan obat dan mengembalikan surat resep yang diberikan dokter tadi. Diperjalanan pulang aku masih penasaran dengan nama dokter yang memeriksaku. Aku membaca ulang lagi resep dokter, ternyata nama dokter tersebut tercantum di resep itu. Namanya adalah Dokter Doni.
Seminggu kemudian aku memulai aktivitas bersekolah lagi, tidak ada penyemangat dihidupku. Tidak ada yang menyiapkan sarapanku tidak ada yang mengantarkanku kesekolah. Aku terpaksa membawa motor sendirian, motor tesebut adalah pemberian ayahku. Setibanya dimuka gerbang sekolah. Aku memarkirkan motor dengan rapi dan membuka penutup kepala, lalu aku bergegas menemui teman-temanku. Bel berbunyi dan hari ini pelajaran pak Agus, rasanya sangat malas sekali aku untuk belajar matematika. Akhirnya sampai istirahat aku di alfa kan oleh beliau, Zakia menjauhiku dia tidak mau lagi berteman dengaku. Karena, sikapku sudah berubah berandal dan tidak tahu aturan. Aku bertemu dengan Zakia di kantin, ia tidak menyapaku malah melihatku dia seperti jijik. Aku menjadi Nakal dan Berandal karena, aku sudah tidak tahu harus melakukan apalagi selain bersenang senang dengan Geng Didit.
Didit ialah teman baruku,ia nakal berandal dan terkenal disekolah karena selalu melanggar peraturan sekolah. Di waktu istiraht Didit selalu mengajakku untuk berkumpul dengan teman-temannya di Kantin. Didit duduk disampingku, dia menikmati secangkir kopi hitam yang masih panas. Salah satu temannya Didit menawarkanku untuk merokok, Niko namanya. Ia memberikan rokok bermerek lokal dan ia tergolong perokok yang aktif.
" Nih Lul "
" Apaan nih, Aku gamau "
" Alah, nih cobain aja dulu "
Akhirnya aku menerima tawaran Niko, dan kumulai menikmati rokok itu. Aku sudah tidak perduli lagi dengan peraturan yang ada. Yang kuingin hanyalah bersenang-senang.
Hingga bel pulang aku tidak masuk ke kelas, aku hanya berdiam di parkiran, tepatnya dibelakang sekolah bersama Didit dan teman-temanya. Dengan mereka aku merasa tidak mempunyai masalah dihidupku dan aku bahagia bersama mereka.
Ku kendarai motor pemberian ayahku, aku mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Dirumah biasanya sepi, kutemui Mama sudah pulang namun, ada sesosok lelaki berbadan kekar melihatku dengan sinis seperti tidak suka kepadaku.
" Lul, kenalin ini temen Mama"
Aku tidak menghiraukan ucapan Mama, aku langsung menuju kamar dan aku kembali menyulutkan sebatang rokok bermerek lokal pemberian Niko.
Aku sudah tidak lagi mengenali sosok mama ku sekarang, apalagi Mama sekarang sudah mempunyai kekasih. Perhatian Mama tertuju kepada laki-laki berbadan kekar itu. Hampir setiap hari laki-laki itu menemui mama dirumah, risih ku melihat mereka inginku mengusirnya. Namun, beberapa bulan kemudian mereka berdua menikah.
Laki-laki yang menikahi Mama itu bernama Pak Narto, ia tidak menyukaiku. Begitupun aku, sangat membenci Pak Narto. Karena, Pak Narto perhatian Mama kepadaku sedikit demi sedikit menghilang bahkan Mama lebih mementingkan segala urusan yang berhubungan dengan Pak Narto. Hingga aku lulus sekolahpun Mama tidak pernah lagi menanyakan perihal kabarku.
Aku menceritakan semua keluh kesahku kepada Didit, untungnya dia selalu mendengarkanku. Kami merayakan kelulusan di rumah Niko, Niko menawarkanku salah satu barang haram.
" Lul, nih 4 juta aja "
" Hah? Aku gapunya duit segitu banyak Niko "
" Tukar saja barang ini dengan motormu "
Tanpa berpikir panjang aku langsung menyetujui tawaran Niko dengan menukarkan motor pemberian ayahku dengan barang haram tersebut. Waktu itu kami bersenang-senang, menikmati barang haram itu dan tanpa memikirkan efek panjagnya bagaimana.
" Gak ada yang peduli lagi dengan aku " Teriakku kepada teman-temanku
Aku pulang kerumah diantarkan oleh Niko dalam keadaan pikiran yang kacau balau, otakku terbang melayang karena masih terpengaruh oleh barang haram tersebut.
" Dari mana aja kamu Lula, baju di coret-coret ?"
" Aku habis party Ma, hahahaha "
" Kemana motor kamu ?"
" Aku jual hahahah untuk beli barang haram "
Mama memarahiku hingga menamparku, aku melakukan ini semua karena aku ingin mencari kesenangan. Mama sudah tidak peduli denganku, Pak Narto ayah tiriku seperti tidak ingin aku dirumah. Aku kabur keluar rumah dengan membawa sisa barang haram tesebut, aku pergi ke makam ayahku dan memeluk nisannya dan menangis didepan makan ayah dan ibu.
Aku sudah tidak tahu mau kemana lagi, sudah tidak punya arah tujuan hidup. Dan aku masih teringat bahwa aku masih ada sisa barang haram di tasku. Aku pergi kerumah Didit, kita berdua mengkonsumsi barang haram tersebut. Kulihat dari kejauhan ada laki laki tinggi ,putih, berparas ganteng, masuk kerumah Didit. Belum sempat aku melihat dengan jelas muka laki-laki itu aku sudah pingsan karena overdosis  barang haram tersebut.
Kubuku mataku perlahan. Sedikit, demi sedikit. Semuanya sudah tampak jelas. Dan ketika itu, kulihat sosok laki-laki yang memeriksaku waktu aku sakit dahulu. Dia adalah Dr. Doni. Dr Doni ternyata kakaknya Didit, ia menanyakan keadaanku dan menebar senyumnya yang lebar yang membuatku bahagia.
" Bagaimana keaadaanmu Lula ?"
" Knapa dia tahu namaku" Ucapku dalam hati
" Saya tahu nama kamu dari Didit tadi "
Aku hanya tersenyum dan bahagia melihat dokter Doni, aku menceritakan semuanya kepada dokter Doni, sebab aku melakukan ini semua. Dokter Doni mengerti atas keaadaan diriku. Didit juga Nakal dan berandal semenjak Ayah dan Ibunya meninggal karena kecelakaan. Namun, Dokter Doni ingat perkataan almarhum ayahnya, bahwa dia harus menjadi seorang dokter yang sukses. Dokter Doni awalnya ragu-ragu dengan cita-cita ayahnya sebelum meninggal. Dokter Doni dulu juga sama sepertiku, dia tidak mempunyai semngat untuk hidup. Tetapi ia sadar bahwa Dokter Doni harus membahagiakan dan membanggakan Ayah dan Ibunya yang di sudah tenang di alam surga sana. Mendengarkan perkataan itu, aku menjadi menangis dan teringat perkataan ayahku. Ayahku menginginkanku menjadi seorang Pilot.
Semenjak Hari itu, aku tersadar bahwa semua yang aku lakukan itu salah dan tidak akan membahagiakan kedua orang tuaku. Malah akan membuat mereka bersedih. Dokter Doni telah menyadarkanku, agar aku menggapai cita-citaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun