Mohon tunggu...
Adelia Ananda Salsabila
Adelia Ananda Salsabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Untuk kepentingan ujian akhir semester

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Kemanusiaan Pengungsi Suriah di Lebanon

22 Juni 2021   05:59 Diperbarui: 22 Juni 2021   06:07 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pecahnya konflik Suriah pada tahun 2011 telah mengakibatkan jutaan orang terlantar yang menyebar untuk mengungsi ke negara-negara tetangga. Lebanon merupakan negara tetangga yang posisi geografisnya langsung berbatasan dengan Suriah dan menjadi negara penerima pengungsi terbesar kedua di Timur Tengah, setelah Turki (Estriani, 2019). 

Hingga awal 2021, tercatat sejumlah 855.172 juta pengungsi Suriah bertempat tinggal di Lebanon (UNHCR, 2021). Jumlah tersebut merupakan pengungsi yang didaftarkan oleh UNHCR, sedangkan sisanya dianggap ilegal karena tidak dapat memenuhi dokumen yang dipersyaratkan (UNHCR, 2017). Melihat jumlah penduduk yang mengungsi mencapai jutaan jiwa menjadikan Lebanon sebagai negara dengan pengungsi perkapita tertinggi di dunia. Artinya, seperlima orang di Lebanon adalah pengungsi, jumlah yang cukup besar ini berkontribusi pada perubahan tatanan demografis di Lebanon (Estriani, 2019).

Persepsi pengungsi sebagai beban dan keberadaan mereka telah mengubah tatanan demografi di Lebanon sehingga Lebanon mulai melakukan sekuritisasi terhadap pengungsi Suriah (Estriani, 2019). Dengan demikian, sekuritisasi dilakukan melalui strategi tindak tutur yang dilakukan oleh elit politik di Lebanon. Elit Lebanon telah memicu wacana ke masyarakat dan melihat para pengungsi sebagai ancaman eksistensial terhadap stabilitas Lebanon (Estriani, 2019). Mereka juga kerap menjadikan pengungsi sebagai kambing hitam atas berbagai masalah yang terjadi di Lebanon sehingga mengakibatkan perubahan persepsi Lebanon terhadap pengungsi dan mempengaruhi tindakan mereka terhadap pengungsi. 

Keseimbangan demografis memainkan peran penting di Lebanon karena tidak hanya mempengaruhi struktur penduduk Lebanon tetapi juga mempengaruhi keseimbangan etnis di negara tersebut (Estriani, 2019). Eksodus pengungsi Suriah ke Lebanon menyebabkan pertumbuhan penduduk dan mengubah aspek demografis Lebanon secara substansial dan memiliki dampak besar pada stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi Lebanon. 

Keseimbangan etnis juga memainkan peran penting dalam stabilitas negara. Sejarah Lebanon telah menyaksikan bagaimana perang saudara sebagian besar disebabkan oleh ketidakseimbangan sektarianisme di negara itu. Sebelum adanya pengungsi Suriah, umat Kristen Maronit mendominasi penduduk. Saat ini, Muslim Sunni membalikkan posisi itu dan mendominasi kelompok etno-religius Lebanon. Perubahan semacam ini dikhawatirkan akan memicu munculnya konflik baru di Lebanon.

Lebanon tidak menandatangani 1951 Refugee Convention or the 1967 Protocol sehingga tidak memberikan status pengungsi jika tidak memenuhi syarat di bawah hukum internasional (Buckner, Spencer, & Cha, 2017). Peraturan kependudukan diberlakukan oleh Lebanese General Security pada Januari 2015 mewajibkan semua warga Suriah untuk melakukan registrasi di UNHCR atau memiliki sponsor Lebanon untuk secara legal tetap di negara tersebut. Tanpa status hukum, pengungsi dapat ditangkap, digerebek, dieksploitasi dan pembatasan pergerakan. Penangkapan di pos pemeriksaan dan penggerebekan informal tented settlements (ITS) telah menjadi hal biasa sejak akhir 2014 dan warga Suriah yang terdaftar di UNHCR di Lebanon tidak diizinkan untuk bekerja, termasuk anak-anak yang bekerja tidak resmi (Buckner, Spencer, & Cha, 2017). 

Sejak Pemerintah Lebanon menginstruksikan UNHCR untuk menangguhkan pendaftaran baru warga Suriah pada awal 2015, jumlah pengungsi Suriah yang terdaftar telah berkurang menjadi 879.529 pada 30 September 2020 (UNHCR, 2021). Persentase pengungsi Suriah yang memiliki tempat tinggal resmi yang sah secara bersamaan menurun seiring dengan jumlah pengungsi yang mampu memenuhi persyaratan untuk pembaruan tempat tinggal. Kurangnya tempat tinggal resmi membuat para pengungsi berisiko ditangkap dan ditahan. Ini juga menghambat akses mereka ke layanan dasar seperti pendidikan, perawatan kesehatan dan layanan sosial, serta untuk mendapatkan dokumen status sipil, seperti perkawinan dan pencatatan kelahiran.

Krisis kemanusiaan akibat konflik Suriah diperkirakan jadi yang terparah pada abad ini. Banyaknya jumlah pengungsi di Lebanon memberikan pengaruh kepada kondisi kehidupan para pengungsi Suriah, banyak yang kehilangan rumah dan anggota keluarga mereka dan melarikan diri dari rumah untuk mencari keselamatan. Pengungsi Suriah memberikan tekanan pada sistem perawatan kesehatan, sosial dan ekonomi Lebanon (Refaat & Mohanna, 2013). Kebanyakan orang Suriah tinggal di daerah perkotaan atau pinggiran kota, seperti Beirut dan Tripoli, dan di kota-kota padat penduduk di Lembah Bekaa. 

Diperkirakan 15-20 % pengungsi yang paling rentan tinggal di informal tented settlements (ITS) di daerah yang dekat dengan perbatasan Suriah, sedangkan anak-anak pengungsi di daerah pedesaan sering bekerja pada bidang pertanian, dan di perkotaan cenderung bekerja sebagai pedagang kaki lima atau bekerja dalam konstruksi (Buckner, Spencer, & Cha, 2017). Krisis ekonomi telah mempercepat hilangnya pekerjaan di antara pengungsi, komunitas tuan rumah, dan pekerja migran. Sejak Maret 2020, banyak pengungsi yang kehilangan sumber pendapatan dan memiliki hutang baru, karena terpaksa meminjam uang untuk kebutuhan dasar (UNHCR, 2021). Situasi tersebut menciptakan kelaparan, meningkatnya hutang, dan masalah kesehatan mental dan fisik, serta meningkatnya risiko penggusuran, eksploitasi, pekerja anak dan kekerasan berbasis gender yang memicu ketegangan antara individu dan masyarakat, seiring dengan kesempatan kerja dan bantuan sosial yang tersedia tetap tidak memadai dibandingkan dengan skala kebutuhan (UNHCR, 2021).

Lebanon sedang berjuang untuk mengatasi tekanan pada layanannya yang disebabkan oleh para pendatang baru dan juga dengan konflik perang saudara, krisis kemanusiaan diperkirakan akan memburuk seiring dengan berlanjutnya konflik. Pengungsi Suriah tinggal di permukiman tenda informal, bangunan terlantar yang telah berusia puluhan tahun di negara itu. Pengungsi Suriah di Lebanon menghadapi tantangan besar, di antaranya adalah akses ke layanan, tempat tinggal, dan sarana keuangan untuk bertahan hidup. 

Para pengungsi Suriah yang bisa mendapatkan pekerjaan biasanya menghadapi diskriminasi gaji berdasarkan status pengungsi mereka (Anera.org, 2020). Dilansir dari (Aljazeera.com, 2021), pengungsi Suriah telah menghadapi diskriminasi di Lebanon dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan. Ratusan pekerja Suriah membangun kembali Beirut setelah 2.750 ton amonium nitrat meledak di pelabuhan Beirut dan merusak banyak lingkungan di sekitarnya pada 4 Agustus 2020. Para pekerja bekerja dalam shift 10 jam namun hampir tidak menghasilkan $5/hari, upah yang terlalu sedikit dibandingkan dengan pekerjaan mereka. Meskipun terdapat orang Suriah yang berpendidikan, mereka akan tetap dipekerjakan sebagai pekerja kasar di Lebanon, yang memungkinkan warga Suriah untuk dipekerjakan secara legal hanya di tiga sektor, termasuk konstruksi (Aljazeera.com, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun