Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Penawaran Hidup

13 Desember 2019   09:32 Diperbarui: 13 Desember 2019   18:36 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: KOMPAS.com/Thinkstock

Disaksikan alam, aku masih saja merenungi nasibku yang terbawa oleh banyak asap-asap knalpot pinggir jalan. Sejak hari itu, saat kepala sekolah memberikan penghargaan yang serupa dengan kecibiran, maka keinginan untuk melanjutkan sekolah sudah lepas dan kutinggalkan.

Walaupun ada satu rasa yang kutitipkan di balik gedung sekolah paling favorit di Jakarta, namun bagiku cinta hanyalah untuk para pemuja kehidupan saja, sedangkan aku hanya sosok penggemar bait kosong.

Mobil-mobil sudah mulai sibuk memadati Jakarta. Ayah membuka bengkel dengan napas panjang yang penuh kekhawatiran hidup. Sedangkan kakak masih mencoba melukiskan sesuatu di secarik kertas yang sedari tadi masih berwarna putih.

"Bram! Bantulah ayah."

Secepatnya kakak membantu ayah, namun setelah hampir setengah jalan, dia kembali menghadap kertas kanvas dengan keliaran tangan mengikuti instruksi naluri yang mulai berimajinasi tanpa henti-hentinya.

Setengah jam lukisan selesai, kemudian dirapikan kembali dekat samping kantor kecil, tempat kami mengelola bisnis kecil, bahkan sangat kecil dan serba kekurangan. Tempat ini perlahan-lahan mulai sepi akibat persaingan usaha yang tidak kondusif. 

Jikalau saja paman masih ada, kemungkinan besar bisnis ayah terselamatkan. Namun memang sudah takdirnya harus mengikuti perjalanan rasa sakit, semangat mereka kali ini memang benar-benar tipis, setipis kulit Ari.

Bayangkan saja, modal untuk membeli bahan-bahan saja sudah tidak lagi cukup. Sehingga bisnis hanya bergerak untuk membersihkan kendaraan dari debu-debu dunia yang sangat memabukkan sekali.

"Borjois, putar otakmu untuk makan hari ini," Ayah tiba-tiba menyuruhku yang tengah sibuk bermain dengan motor antik, yang sudah lama tidak selesai diperbaiki akibat mahalnya onderdil. 

"Mudah, ayah! Jalankan saja mesin Piero dari paman."

"Mesin itu sudah terjual seharga sejuta untuk peralatan melukis kakakmu."

Melihat sekilas wajah kakak yang penuh semangat hidup. Dia satu-satunya kakak yang bersemangat hari ini.

"Tenang ayah, lukisanku akan terjual lebih mahal kali ini. Sebentar lagi orang itu akan datang mengambilnya."

Sejam berlalu dan sudah dua mobil kutanggani, dengan mencoba sedikit berkreasi mesin, agar kami mendapatkan uang untuk makan hari ini. Kulihat kakak sedang bertransaksi dan pada akhirnya semua lukisan dibawanya serta. Kupikir sebentar lagi masalah perut akan selesai dan semua masalah selesai.

Namun tiba-tiba sebuah layar televisi mempertontonkan wajah pemburu barang antik yang sudah banyak menipu para seniman ditayangkan dengan begitu jelas tanpa sensor.

"Kakak ...."

Tubuhnya bergetar dan akhirnya tidak sadarkan diri kemudian dibawa ayah ke rumah sakit terdekat dengan membawa sebuah kartu sakti dari Bapak Presiden Jokowi, untuk pengobatan gratis.

Pikiran mulai kembali mencari solusi perut yang mulai semakin kecil saja. Masih teringat bahwa sudah tiga hari jatah makan kuberikan untuk adik terkadang ibuku.

"Borjois! Berapa ongkos perbaikan mobil ini?"

"Sejuta lima ratus."

Dosen bahasa Perancis dekat komplek membayar tagihan dan hatiku riang. Saatnya membeli banyak peralatan untuk memperbaiki televisi dan mesin-mesin lainnya. Juga bahan-bahan untuk makan mungkin selama satu minggu. 

Bergegas ke tengah pasar elektronik dan memburu banyak alat-alat. Namun ketika pembayaran baru saja dimulai, si pemilik toko melaporkan aku kepada polisi dekat pasar dengan tuduhan pengedar uang palsu.

"Aku Borjois! Seorang gadis kecil yang tidak pernah menipu orang selama hidupku!"

Namun tetap saja aku kalah. Jumlah uang yang kubawa terlalu banyak, bahkan untuk memahami bahasa kejujuran saja masih kalah oleh bukti-bukti. Masuk sel dan mulai dilucuti dengan kata-kata paling kejam seumur-umur hidup ini.

"Kalian sentuh tubuhku sekali lagi, maka iblis dalam darahku akan hadir, untuk membuat kalian menyesal telah melakukan kesalahan ini!"

"Hahaha ... Kau ini siapa? Hanya seorang gadis brutal di jalanan yang tidak tahu menghargai kebaikan kami, lucuti pakaiannya. Tenang nona jalanan! Setelah kami puas kau bebas."

"Bedebah busuk!" Mengucapkan Asma-asma Allah dan mencoba melepaskan diri dari perangkap para pejabat mesum. 

"Bismillahirrahmanirrahim, Allahuakbar, hiyattttt ...."

"Brukkk ...."

Kemudian datang kepala opsir dan melihat kondisi tubuhku dan menolong untuk menutup sebagian tubuh yang sudah terbuka.

"Ada apa ini?"

"Wanita ini sedang menawarkan tubuhnya karena kasus uang palsu siang ini, Pak!"

Kubaca namanya di alat pengenal. Beni Panjaitan, akan kurapihkan kenangan ini bersamaku di balik helai demi helai lebaran uang yang telah kuterima hari ini.

"Apakah begitu adanya, Borjois?"

"Kau lebih mengenalku, Pak!" Kemudian memakai kembali baju-baju yang berserakan dilantai.

"Jabatan kalian dipertaruhkan hari ini! Borjois siapakah yang memberikan uang ini kepadamu?" 

"Hanya orang gila yang sedang mencoba kesabaranku, Pak! Lupakan saja. Tutup kasus dan lepaskanlah aku. Ibuku dan seluruh keluarga pasti sudah sangat kelaparan hari ini."

Bapak kepala kepolisian yang dulu sering mampir ke bengkel melepaskan aku dan memberikan sejumlah uang yang cukup untuk membeli sejumlah bahan makanan untuk seluruh keluarga. 

Dalam hati kecilku masih bersyukur kepada Allah Yang Maha Esa. Kehormatanku sebagai wanita masih dijaganya sampai detik ini.

Terkadang aku membenci wajah cantik dan tubuh yang kumiliki. Sebab walau sudah kututup dengan kain panjang, masih saja para pria terpesona. Aku sangat membencinya, maka dari itu aku jarang mandi dan hanya menggosok gigi walaupun hanya dengan menggunakan abu gosok hasil pembakaran kayu di kebun Pak Mardjuki.

"Lihat! Kakak Borjois membawa banyak makanan."

Dari jendela kamar dosen bahasa Perancis, yang rumahnya di seberang jalan rumahku, nampak sebuah wajah yang sangat kukenal betul. Sambil menatapnya penuh api dendam aku memunculkan jari telunjuk tanda peperangan. 

"Borjois, kenapa dengan bajumu? Sobek semuanya."

"Mungkin dia sudah menjual keperawanan demi perut kita, Bu."

"Pletakkk ...."

"Aduh ...."

"Borjois, ini sakit!"

"Kau kakak paling bejat yang pernah kumiliki! Dan sialnya aku terlahir sebagai adikmu."

Aku masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

"Borjois, itu kamarku juga."

"Aku tidak ingin diganggu! Tidurlah dengan ibu atau di depan pintu."

Malam ini aku menyatu dengan hujan di belakang rumah. Seluruh keluarga sudah tertidur pulas karena kekenyangan. Sedangkan perutku masih berbunyi sejak tadi. 

Namun semua makanan sudah habis, bahkan tidak tersisa sedikitpun. Hari ini aku akan tertidur dengan perut yang lapar serupa kemarin. 

"Ya Allah! Aku memasrahkan diri ini seutuhnya kepada takdir yang akan membawaku entah ke mana."

**

Jakarta, 13 Desember 2019

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun