Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Matahariku Lelah ke Seberang

13 Desember 2019   02:00 Diperbarui: 13 Desember 2019   19:01 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: pixabay.com)

Aku memandang ke arah matanya, yang masih saja terbuka, pada malam yang hendak merubuhkan tubuhku, padahal baru jam setengah sembilan. Ini bukan karena perutku yang keroncong, karena tidak pernah terisi dengan makanan yang sehat, namun karena memang matahari sudah enggan menemani ketegaranku. 

Kembali dia mengepulkan asap rokok, dari mulutnya yang lupa sudah lama tak disentuh dengan pasta gigi. Bukan karena jorok, namun tidak ada cukup uang untuk membelinya. 

Napasnya lebih bau dari air selokan, namun kecupan dari kekasihnya masih mengalirkan hawa panas, dalam dadaku yang sesak oleh ritual ke-brengsekannya sejak ibuku menamakan dia Bram dan aku harus memanggilnya sebagai kakak, lewat mulutku yang terlalu manis untuk menyebutkan kata-kata baik.

Ibuku kembali mendesah harapan untuk hidup di antara gelombang pelik, keluarga paling gila yang pernah kumiliki. Kemudian dia menghela napas kembali, kali ini sambil berkata, "nak, aku sangat laparnya!" 

Pada akhirnya kucuri makanan guru, yang sedang mengajarkan arti sebuah kehidupan, kepada anak-anak orang kaya di seberang kompleks, yang mana seluruh kekayaan dunia, sudah mereka miliki hasilkan, sebagai simbol keberhasilan dalam menjelajahi bumi Indonesia, yang paling cinta damai, menurut celotehan opini mulut-mulut yang suka sekali menjilat pantat pejabat.

Tanpa ketahuan aku berhasil membuat ibuku kenyang dan kakakku muntah darah. Bagaimana mungkin hasil rampasanku bisa mereka ketahui dan menuduh kakak untuk semua yang tidak dilakukannya. 

Tubuhku maju sejarak dua meter, menuju para dosen yang sedang berada di depan pintu rumahku, yang sangat rentan dan mudah sekali lepas dari engselnya ketika sentuhan halus menyentuh daun pintu.

"Krekkk... Brukkk..."

"Tuan! Kakakku tidak bersalah, sedari pagi hingga malam menjelang pagi, dia tidak pernah bergerak dari kursinya, karena mungkin sudah mulai menggila dengan kelaparannya akan dunia, apalagi tentang kemilau keemasan dan keglamoran fatamorgana yang bersifat hanya sementara ini. 

Jika kalian ingin menghukum, maka akulah biang kerok dari semua makanan yang hilang di rumah kalian sejak aku mengenal bahasa lapar serta kerakusan kalian dengan mengambil jerih payah kami dengan kelicikan."

"Hai Borjois! Tubuhmu indah. Aku bisa melupakan segalanya asalkan kau mau menjadi selimut dari rasa dingin ini!" Kata-kata Dosen bahasa Inggris mulai membuat pikiranku bergerak, meraba masa lalu yang paling bejat yang mereka miliki, selama hampir sepuluh tahun dalam memori.

"Tuan, kecilkan suaramu dan mulailah bermain catur denganku. Jika memang aku kalah, kau boleh merobek keperawanan yang kumiliki sepuas hatimu."

Tanpa rasa takut yang memang Meraka tidak akan pernah miliki, pada akhirnya meja catur dipersiapkan untuk sebuah kompetisi kejeniusan.

Berjam-jam berlalu dan keempat Dosen pada akhirnya menyerah kalah. Sedangkan kain yang melekat di tubuhku mulai turun sekitar se-senti, karena otak bapakku sudah mulai terkontaminasi oleh rayap rayap kesukaran hidup dalam pikirannya.

"Sekali pertandingan lagi, kalung ini taruhannya."

Kalung ditukar oleh uang yang sudah terkumpul dari hasil permainan catur dan kendurnya gaun, yang melekat di tubuhku.

"Kau kalah, Tuan!"

Pada akhirnya Subuh datang, perhiasan dan uang sudah di benahi ayah dan kakak. Namun ketika hendak melangkah keluar dari rumah, mataku liar mencari semua uang dan perhiasan yang baru saja kudapatkan dengan begitu mudahnya.

"Ayah, Kakak! Berikan semuanya kepadaku atau kalian ingin menikmati betapa tajamnya belati ini." Sambil menjilati pisau yang sore tadi baru saja kuasah.

Pandangan mata ayah mulai ciut, namun kakak tetap mempertahankan uang dalam sakunya.

"Aku sakau, Dik!"

"Bedebah busuk! Tidak akan bisa kau rampas yang sudah menjadi milikku." Sambil merobek kantungnya dan mengambil semua uang-uang yang ada dalam saku.

"Dik, kasihanilah aku."

"Belajarlah untuk menjadi seseorang, kak. Karena kehidupan kita sudah sangat miskin. Maka buatlah kaya pikiran kita dengan memandang sisi positif dalam hidup."

Sejam kemudian kakak pingsan. Dia pikir aku perdulikan nyawanya? Pada dasarnya ya aku sangag perduli. Sebab itu membuatnya melupakan betapa nikmatnya narkoba dan dunia hitam, adalah harapan yang hadir karena kasih sayang. 

Lewat pemikiran dangkal ini, segera mengganti jenis bubuk yang dia beli dengan hasil penjualan narkoba. Pingsannya mungkin hanya sebentar saja, sebab bubuk yang kuberikan hanyalah obat penghilang rasa sakit yang kucampurkan dengan bubuk cinta yang akan membuatnya tertidur selama empat jam saja.

Esoknya aku tidak bersekolah. Hari ini aku mencoba untuk menghidupkan bengkel milik ayah. Saat mata ayah melihat bengkel mulai ramai, dia mulai menekuni pekerjaannya. Sedangkan kakak tertidur dengan pulasnya dan ibu bangun dari tidurnya dengan kesembuhan dari rasa sakitnya tadi.

Ya kupikir penyakit ibu hanya kelaparan, akibat banyaknya debu yang memasuki perut dan membentuk batu di dekat kumpulan usus dua belas jari.

"Nak, ibu sudah membaik. Pergilah bersekolah dan tinggalkan semua pekerjaan ini."

Namun aku hanya pergi mencari bahan-bahan untuk keperluan bengkel saja, dari banyaknya uang taruhan dari para dosen.

Bersambung.

Jakarta, 13 Desember 2019.

ilustrasi. dok pribadi. - Elang Salamina
ilustrasi. dok pribadi. - Elang Salamina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun