"Tuan, kecilkan suaramu dan mulailah bermain catur denganku. Jika memang aku kalah, kau boleh merobek keperawanan yang kumiliki sepuas hatimu."
Tanpa rasa takut yang memang Meraka tidak akan pernah miliki, pada akhirnya meja catur dipersiapkan untuk sebuah kompetisi kejeniusan.
Berjam-jam berlalu dan keempat Dosen pada akhirnya menyerah kalah. Sedangkan kain yang melekat di tubuhku mulai turun sekitar se-senti, karena otak bapakku sudah mulai terkontaminasi oleh rayap rayap kesukaran hidup dalam pikirannya.
"Sekali pertandingan lagi, kalung ini taruhannya."
Kalung ditukar oleh uang yang sudah terkumpul dari hasil permainan catur dan kendurnya gaun, yang melekat di tubuhku.
"Kau kalah, Tuan!"
Pada akhirnya Subuh datang, perhiasan dan uang sudah di benahi ayah dan kakak. Namun ketika hendak melangkah keluar dari rumah, mataku liar mencari semua uang dan perhiasan yang baru saja kudapatkan dengan begitu mudahnya.
"Ayah, Kakak! Berikan semuanya kepadaku atau kalian ingin menikmati betapa tajamnya belati ini." Sambil menjilati pisau yang sore tadi baru saja kuasah.
Pandangan mata ayah mulai ciut, namun kakak tetap mempertahankan uang dalam sakunya.
"Aku sakau, Dik!"
"Bedebah busuk! Tidak akan bisa kau rampas yang sudah menjadi milikku." Sambil merobek kantungnya dan mengambil semua uang-uang yang ada dalam saku.