Karya Ubus
Di ruang waktu, silih berganti datang dan pergi. Menggagalkan dan ditinggalkan, pada akhirnya hanya menyebutkan sebuah kehilangan.
Tahukah kau denyar ini memukulku diam-diam? Mengamit kembali ke dalam gelap. Meraba tiap ketukan nada dasar dan tuntas oleh sajak-sajak yang kembali kutidurkan begitu manis, manis sekali, bahkan sejak alamat hati ini, kukenali dengan baik sekali, arusnya bergerak di antara urat-urat dalam nadi dan pecah keseluruhannya, meretaskan air mata.
Sesungguhnya benak ini masih terjebak dalam sumbat tentang kehidupan. Apakah ada salah satu cahaya berjatuhan di antara kepingan poin-poin hidupku? Ataukah ini hanya gurauan peremajaan singkat sebuah deklamasi. Entahlah! Memikirkannya membuat amnesia bekerja tiba-tiba.
Sementara hujan masih begitu sibuk, meneterjemahkan waktu yang terlalu lama hadir, lalu pecah saat rintiknya berjatuhan di kaki bumi, sedangkan jejak lumpur di ujung tumit belum juga mengering. Saat kuintip rumahmu, berulangkali, kemudian bertanya kepada kesibukan jalan darah, "adakah aku dalam raga itu?" Wahai jiwa! Sunyi ini tak memiliki lagi sebuah beranda pelangi. Di mana warnanya seelok ketika wajahku adalah binaran waktu....
Ini siluet-siluet yang pecah di kepalaku. Jauh sebelum kata sepakat datang berbagi kesederhanaan.
Jakarta, 26 April 2019