Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apalah Arti Menunggu

14 Desember 2018   12:24 Diperbarui: 14 Desember 2018   12:35 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kehidupan ini, mengapa seorang wanita selalu lebih merelakan tubuhnya tercabik-cabik demi cinta ya? Entahlah! Masih kupertanyakan dalam hati, dengan memandang berbagai aspeknya.

Sebut saja Maulina. Dia begitu rela tubuhnya tercabik-cabik setiap hari, oleh kelakuan suaminya si pemabuk, yang hanya tau bahasa amarah dan kepuasan dalam bercinta. Tak jarang seluruh tubuh memar dan terluka parah akibat dari pukulan tanpa kesadaran di pagi harinya.

Sedangkan mulutnya tidak pernah mengatakan kejelekan suami, walau hatinya begitu banyak menyimpan luka-luka dalam. Berbanding terbalik dengan suami yang mengumbar aib istri kemana-mana bahkan seluruh kampung mengetahui bahwa istrinya mandul. Padahal hasil dari dokter suaminya lah yang mandul.

Pada suatu hari mertuanya datang dan menyuruhnya bercerai. Dengan hinaan begitu tajam yang menghunus dada Maulina. Perceraian di proses. Selang beberapa tahun dia menikah mempunyai anak. Di situlah sebuah kebenaran terungkap dengan sejelas-jelasnya. Tetapi tetap saja Maulina tidak membuat aib mantan suaminya terbuka. Malah gosip makin menyudutkannya.

Aneh bukan! Maling teriak maling itu serupa sudah biasa hadir di permukaan bumi yang semakin menua 

Tidak hanya kasus ini saja, ada begitu banyak kasus tentang wanita di sebalik pria yang di sebut suami. Tetapi aku lebih tidak memahami bagaimana bisa mereka tahan akan segala deritanya. Apakah karena terlalu cinta? Faktor anak? Atau takut tidak bisa hidup jika tidak menempel di ketiak suami. Entahlah!

Terkadang aku begitu geram jika Kak Alia datang memelukku dan berkata, "mas Roni selingkuh! Dan dia tak mau melepaskan wanita itu. Dia menamparku." Dan ketika kuajak untuk lapor polisi atas tindakan penganiayaan dia tidak mau bahkan marah-marah kepadaku. 

Mereka lebih memilih menyimpan luka ketimbang di tinggalkan. Aneh sudah dunia ini bukan? Atau karena jumlah pria itu lebih sedikit, sehingga rasa takut hadir akan sebuah pemikiran bahwa mereka tidak akan bisa memiliki pria lain lagi. Entahlah. Aku hanya bisa bertanya kepada dinding dinding bisu yang menyimpan banyak rahasia yang paling abadi.

Adalagi seorang wanita yang sudah dua puluh tahun hidup bersama dan selalu mengalami hal yang buruk. Bukan hanya kepada dirinya. Tetapi juga kepada anak-anaknya. Dear ini parah sayang. Tetapi saat kubilang ceraikan saja. Kembali wanita itu marah-marah kepadaku. Lantas untuk apa kalian bicarakan masalah kepadaku dan membuat sisi manusia naik ke ubun-ubun dan terasa begitu pedih.

Kadang aku hanya diam saja. Tetap saja curhatan meluncur deras, itu membuat hati tersentuh kemudian berkata, "jika memang begitu sesak tinggalkan! Bukankah cinta itu sederhana? Lalu kenapa dipersulit dengan segala masalah yang dibuat-buat? Carilah solusi terbaik. Bukan mengulang-ulang debit yang sama, dengan persoalan yang sama." Kemudian aku mengacuhkan mereka, duduk di halaman taman dan sejenak berpikir. Apakah sebuah rumah tangga harus serumit itu? Padahal cinta ada di mata mereka. Lalu apa salahnya dengan hubungan mereka? 

Datang kembali Nunung dengan mata sembabnya datang kepadaku dan berkata, " kau bisa bilang ceraikan. Tapi untuk ke arah sana langkah begitu sulit. Cinta ini masih ada!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun