Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Riwayat Jejak Petualang

7 Desember 2018   12:55 Diperbarui: 7 Desember 2018   13:51 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

by Delia Adel

kembali ke sini

dengan pemikiran yang busuk

mengejar buana

di sepenggal kalimat pulang yang lupa berkisah.

Sebuah kamar

menjebak secangkir kopi

untuk berkelana bebas

pada langit

dan desakan musim

seketika mabuk

saat gigilnya merasuk

bersama kuncup puisi mati.

Dan esoknya, beredisi

di saksikan oleh banyak penghuni taman kebodohan

atau lapak-lapak karam sisi jalan

dan tersadarlah kemudian

bahwa tubuhnya telanjang

kemudian berkata, "aku kalah perang."

Sedangkan ponsel sudah menjadi abu

bersama pedagang jalanan.

Aku tersedak racun

inilah akhir perjalanan.

Karam yang tak sepatutnya di munculkan 

tetapi perlahan timbul dan menyulitkan kematian.

Hai! Sekali lagi. Bawakanlah senyuman

lihat wajahku

Kering

tanpa sebuah alamat

raga berputar

tubuh membusuk

tiada yang menemukan 

padahal bau telah tercium dari jutaan kilometer

tetap saja, teracuhkan

bahkan hingga tulang-tulang ni

hilang entah kemana.

Sungguh ini sunyi yang paling menyiksa 

di bandingkan hening ketika hidup.

Bekasi, 7 Desember 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun