Di rumah, saat lampu meja menyala, aku menulis lagi.
Bukan surat, bukan puisi, tapi fragmen-fragmen tentang kamu---
tentang kita,
tentang apa yang pernah menjadi "mungkin".
Aku menuliskan satu kalimat yang tak selesai:
"Jika waktu bisa diputar, aku ingin berdiri satu langkah lebih dekat dan mengatakan, 'Aku tidak pernah melupakanmu.'"
Tapi aku tak pernah mengirimkannya.
Dan mungkin, kau tak perlu tahu.
Karena beberapa cinta memang diciptakan untuk diam,
dan beberapa rindu...
diciptakan untuk tidak disampaikan.
Bab 5: Kota yang Menjaga
Yogyakarta selalu tahu caranya menjaga rahasia. Ia tak pernah bertanya mengapa seseorang berjalan sendirian di pagi yang sepi, tak memaksa kenangan untuk keluar dari lemari waktu, dan tak menghakimi mereka yang datang dengan mata basah tapi senyum tertahan.
Kota ini tak berubah. Tapi justru dalam ketidakterubahannya, ia menyimpan ribuan perubahan di dalamku.
Setiap sudutnya memanggil, tapi tak menyuruh kembali. Ia seperti sahabat tua yang hanya diam mendengarkan, memberi ruang untuk bercerita tanpa menyela, dan membiarkan air mata mengalir tanpa memberi pelukan yang terburu-buru.
Di angkringan kecil dekat stasiun Tugu, aku duduk lama. Menatap nasi kucing dan segelas teh manis, seperti meditasi dalam bentuk sederhana. Kau pernah bilang: "Hal-hal kecil justru paling kita ingat." Sekarang aku mengerti.
Di alunan keroncong dari radio tua, ada suaramu yang samar. Di aroma sisa hujan di jalanan, ada tawa kita yang dulu riuh. Kota ini menyimpan segalanya: kata-kata yang tidak pernah terucap, sentuhan yang tak sempat tiba, dan janji yang hanya hidup dalam bayangan.