Pagi ini aku lewati gerbang yang menjulang tinggi. Tertulis sebuah nama dengan huruf kapital yang tebal. Termenung sejenak untuk memaknainya. Keberadaan bangunan berlantai dua yang kokoh seperti lengan ayahku yang setiap pagi membopongku.
Sedikit tertunduk ku tempelkan wajahku diantara jeruji besi penghalang pintu. Tampak jelas halaman luas seperti padang pasir membentang. Lenggang tanpa terdengar decitan kursi yang ditarik tangan mungil. Di setiap penjuru terlihat alat cuci tangan dengan warna ranum merah menyala.
Ada pula tong sampah yang terlihat berkilat. Sepertinya baru pagi ini keluar dari kamar persembunyiannya. Hai, tiang bendera, kau masih kokoh tinggi menjulang. Aku belum sempat memandangmu. Kau pun belum pernah merasakan jamahan tanganku yang menarik tali tatkala ada yang melintir menyelimutimu.
Biasanya aku berdendang menyanyikan lagu kebangsaan. Memacu semangat biar membara. Menumbuhkan jiwa nasionalisme agar terukir kuat di sanubariku. Dengan lantang aku tirukan butir-butir sila Pancasila agar terpatri di hati kami.
Aku sudah siapkan lagu perjuangan yang akan aku nyanyikan. Aku akan bacakan dengan lantang naskah kemerdekaan. Kakiku sudah kuat berdiri tegak. Dadaku semakin bidang bukti aku anak hebat. Pundakku tampak semakin berisi, dan langkah kakiku pun semakin panjang dan cekatan. Aku semakin tinggi dan tumbuh besar. Cita-citaku pun semakin tinggi aku gantungkan.
Di langit sudah aku tuliskan, bahwa kelak aku ingin jadi guru, tentara, polisi, dokter, ustadzah, atau menjadi seorang ibu yang bertangan ajaib. Tapi, Bu guru...kelasku masih sunyi. Papan tulis belum terisi catatan pagi ini. Buku bacaan masih tersimpan di tempatnya. . Meja dan kursiku belum pernah bersua denganku. Baju seragamku masih tergantung di lemari. Berjejer beriringan, merah putih, olah raga, batik, dan Pramuka. Ingin rasanya mengisi kelas agar ramai dengan celoteh kami.
Bandung Barat, 25 Maret 2021