Kelu lidahku ungkap masa lalu. Kala detik masih menjadi miliku. Saat tangan saling menggenggam impian yang sama. Di suatu ketika. Ternyata impian kita beda seiring tapi tak disatukan.
Tak kuasa mengakui kita pernah satu ranjang. Seirama menggapai impian di suatu puncak malam. Walau nihil selembar pengakuan. Kau biarkan fatamorgana meluluhlantakan. Seluruh bentangan drama yang dilakonkan. Hanya sebuah perhentian di stasiun yang sekejap ditinggalkan.
Kau kembali menuju ladang di rel yang kau miliki. Tanpa melirik raga ringkih yang telah kau sakiti. Bagaimana aku mengakuinya. Kau pernah seirama nafas selama selikur purnama. Kau kini melaju dengan gerbong sesak penumpang.
Hanya lambaian tangan yang tenggelam dihempas deru angin yang datang sore tadi. Menyadarkan syaraf ingatan bahwa aku kini sendiri. Kau putuskan lakoni langkah kaki. Seperti rel kereta api yang tak bertemu di satu simpul. Sendiri memilin untaian kisah yang akan jadi lakon lagi.
Bandung Barat, 30-09-020