Oleh: Ade Imam Julipar
21 Mei 2021
Bulan puasa baru saja usai. Selama sebulan penuh beberapa dari kita belajar mengendalikan diri. Karena hakikat dari puasa itu sendiri adalah pengendalian diri.
Merujuk pada Psikoanalisis-nya Sigmund Freud, kepribadian manusia adalah hasil pertarungan antara Id (dorongan alamiah dari dalam diri yang bersifat kebinatangan) dengan Super Ego ( sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, baik itu nilai: tradisi, moral, agama, atau susila). Hasil pertarungan ini melahirkan ego.  Jika dalam pertarungan itu yang menang  super ego, maka seseorang dikatakan baik. Tetapi jika yang menang  Id, maka seseorang dikatakan tidak baik  atau seorang pendosa.
Selama bulan puasa, id semakin direpresi oleh super ego. Sehingga diharapkan akan menjadi sebuah habit. Nah, habit yang sesuai dengan sistem nilai inilah yang menciptakan sebuah pribadi baru pasca bulan puasa. Ini idealnya. Tetapi kenyataannya kadang-kadang tidak sesuai harapan. Memang selalu ada gap antara Das sein (kenyataan) dan Das Sollen ( yang seharusnya terjadi).
Puasa selesai, orang pun kembali menuruti dorongan Id-nya. Bahkan mungkin lebih parah dibanding sebelum puasa. Ibarat : Kuda lepas dari kandang. Atau dalam bahasa Sunda: Kuda leupas ti gedogan. Kondisi ini membuncah ketika kumandang takbir terdengar.
Hari kemenangan telah tiba. Hilang semua beban yang dirasa sebagian dari kita ketika puasa. Dan kebanyakan ini dirasakan oleh orang-orang yang tidak menjalankan puasa juga. Maka mereka pun melampiaskan dengan: mabuk-mabukan sampai pagi, berjudi, dan melepaskan hasrat libido-nya-- entah dengan pacarnya atau wanita lain. Kondisi ini bukan mengada-ada. Pernah suatu waktu di satu tempat hal ini menjadi pemandangan biasa. Atau mungkin di beberapa daerah di Indonesia.
Kendali diri menjadi longgar kembali. Rantai-rantai pengikat rontok sudah. Tali kekang pun terputus. Sehingga kita perlu memaknai kembali apa itu kendali diri. Atau yang lebih dikenal dengan istilah: Self Control.
Kendali diri muncul dan dibutuhkan justru ketika kesadaran kita terganggu. Jadi bukan dalam keadaan normal. Lebih jelasnya begini: ketika kita dihadapkan pada situasi di mana dorongan Id sangat tak tertahankan, sedangkan dorongan itu jelas-jelas bertentangan dengan sistem nilai yang ada, maka kita harus segera melakukan kendali diri. Dan kendali diri adanya dalam pikiran. Bukan dari perasaan.
Kita mungkin pernah bertanya, kenapa otak adanya di atas tubuh kita, yaitu di kepala, sedangkan hati adanya di tengah, atau di dada kita? Ini adalah pertanda. Struktur tubuh manusia  menempatkan otak di atas karena di situ tempatnya pikiran.  Sedangkan hati tempat bercokolnya perasaan. Artinya disini sudah jelas bahwa yang paling menentukan dalam kendali diri adalah pikiran.
Mungkin kita masih ingat proses kerja mata waktu pelajaran biologi ketika kelas 3 SMP. Guru Biologi kita dengan berapi-api menjelaskannya.
Cahaya memantulkan obyek dan mengirim pada garis lurus menuju mata kita. Cahaya melalui kornea, menuju pupil dan diteruskan ke lensa mata. Kornea dan lensa membelokkan (membiaskan) cahaya agar di fokuskan ke retina. Photoreceptors pada retina mengkonversi cahaya menjadi gelombang elektrik. Gelombang elektrik melalui saraf optik menuju otak. Otak memproses sinyal-sinyal itu menjadi sebuah bayangan (image).
Demikian penjelasan guru Biologi kita itu. Tangkapan realitas oleh mata dilanjutkan ke otak. Dan dari otak inilah kemudian diteruskan lagi ke hati berupa sebuah perasaan. Perasaan gembira melihat sesuatu, sedih, marah, benci, dan perasaan-perasaan lainnya. Jadi, perasaan timbul karena pikiran, hasil dari persepsi atas tangkapan indrawi.
Secara fisiologis kita sering mendengar tentang cinta. Konon, cinta itu datangnya dari mata, lalu turun ke hati. Hal ini makin memperkuat penjelasan biologis di atas.
Pikiran merupakan alat untuk kendali diri. Kita harus merawat pikiran supaya terus terjaga. Karena eksistensi manusia pun berasal dari pikiran.
Adalah Descartes yang mengatakan: Cogito Ergo Sum. Ungkapan latin ini berarti: aku berpikir maka aku ada. Kalau aku tidak berpikir maka aku tidak ada. Ini adalah cikal bakal Faham Rasionalisme di dunia filsafat.
Jadi, cara yang tepat untuk kendali diri adalah mengendalikan pikiran. Karena segala sesuatu ditentukan oleh pikiran.
Salam