Oleh: Ade Imam Julipar
15 Januari 2021
Dulu waktu kecil sekitar umur sepuluh tahunan, selepas solat  magrib di mesjid Al-Ikhlas,  saya tidak langsung pulang. Bersama dengan teman-teman lainnya, saya belajar mengaji. Tempatnya di mesjid itu juga.
Karena saya baru belajar mengaji, yang diajarkan adalah menghafal huruf-huruf hijaiyah. Alif, Ba, Ta, dan seterusnya. Kemudian setelah itu belajar menyambungkan tiap huruf-huruf itu menjadi sebuah kata. Ba Ta, Sa Ja, Da Ta, dan seterusnya.
Agak lancar dengan huruf-huruf dan kata-kata, Â dilanjut dengan belajar membaca rangkaian kata-kata yang berupa surat-surat terakhir dalam Al-Qur'an yang biasa dikenal dengan sebutan Juz Amma. Juz Amma sendiri memiliki arti dalam Indonesia: Juz yang terakhir.
Kami yang belajar dengan materi yang sama, dikelompokkan menjadi satu. Yang mengajar bukan pak Kiai langsung, tetapi murid yang lebih tua dari kami yang sudah lancar membaca Al-Qur'an. Â Yang sudah bisa mengajari yang belum bisa.
Dan murid yang tua itu langsung diajari oleh pak Kiai. Â Sistem belajarnya giliran. Satu per satu. Setiap dari kami menunggu giliran untuk diajar.
Tiba giliran saya. Saya langsung menuju ke sebuah meja kecil di mana seorang senior sudah siap mengajar.
Saya berhadapan dengan seorang senior. Di depan meja kecil itu saya membuka buku pelajaran yang ketika itu disebutnya: Tuturutan. Kalau zaman sekarang itu buku Iqro.Â
Kami diajari oleh senior kami, senior kami diajari pak Kiai. Demikian sistem belajarnya.
Kami semua, tidak ada terkecuali, duduk di lantai berlapis karpet warna hijau. Ya, kami semua mengaji dengan lesehan. Sebuah pemandangan yang biasa terlihat. Dan tradisi ini memang sudah ada sejak lama. Bahkan sejak Islam belum lagi masuk ke Indonesia.