Mohon tunggu...
Ade Heryana
Ade Heryana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

email: ade.heryana24@gmail.com\r\n\r\nPraktisi Health Care Management,\r\nIndustrial Engineering & Management, \r\nmahasiswa S2 FKM UI

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kisah Dokter Spesialis Kapitalis

1 Januari 2015   21:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kritik dan masukan silahkan kirim ke ade.heryana24@gmail.com

Menutup tahun 2014 kita masih dihadapkan pada kelemahan pelayanan kesehatan bagi pasien BPJS terutama pada aspek SDM kesehatan. Akankah hal ini masih berlanjut di tahun 2015 ?

Tepat tiga bulan sebelum pemberlakuan JKN, saya mengunjungi beberapa dokter di bilangan Jakarta Selatan dalam rangka menjajaki kerjasama pemeriksaan laboratorium bagi pasien BPJS Kesehatan. Dari semua dokter yang dikunjungi menyatakan tidak berminat menjadi provider BPJS untuk melayani kesehatan pasien JKN. Ada yang sama sekali tidak paham BPJS, bahkan dokter yang paham JKN pun  terang-terangan keberatan dengan premi yang murah. Saat meninggalkan klinik tempat dokter itu bekerja, teman saya nyeletuk “itu dokter kapitalis banget”. Di tengah sorotan masyarakat mengenai mafia obat yang melibatkan dokter dengan industri farmasi, saya jadi teringat dengan celetukan teman saya tersebut. Lantas apakah memang dokter sudah menjadi budak kapitalis?

Paham kapitalisme adalah paham dalam perekonomian yang mengutamakan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi pemilik modal atau kapitalis pedagang, yang lahir sejak adanya mazhab merkantilis hingga mazhab klasik. Pahamkapiatalisme kemudian ditentang keras oleh paham sosialis yang mengutamakan kepemilikan kolektif atas sumderdaya produksi dan keuntungan dari kapital. Laporan sebuah majalah bisnis menyampaikan bahwa nilai kapitalisasi industri kesehatan mencapai lebih dari 100 triliun rupiah dalam setahun. Kue yang sangat menarik untuk dinikmati pemilik modal.

Kembali ke celetukan teman saya, kalau mau jujur para penyandang profesi mulia ini sebenarnya ‘terpaksa’ menjadi dokter kapitalis. Saya mencoba ilustrasikan kenyataan  ini dengan mengisahkan tokoh fiktif seorang dokter, sebut saja dr. Bonus, SpKap. Sang dokter lahir dari keluarga sederhana, anak dari seorang buruh pabrik obat, budak kapitalis farmasi, yang harus berkerja siang malam untuk memenuhi cita-cita anaknya yang pintar lulus dari sekolah kedokteran.

Saat mengikuti pendidikan tinggi kedokteran, si calon dokter menghadapi kenyataan bahwa biaya pendidikan seorang dokter tidaklah murah. Ia masuk dalam perangkap kapitalis pendidikan dokter. Untuk membantu meringankan beban orang tua, si calon dokter menambah penghasilan dengan mengajar les privat. Sampai akhirnya ia menyelesaikan pendidikan dokter yang ditempuh dengan waktu yang standar. Saat kuliah ia bercita-cita akan meringankan beban pasien yang kurang beruntung yang nasibnya mirip dengan dirinya. Ideal sekali.

Setelah lulus kedokteran, si dokter muda ini diterima bekerja di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Karena baru beroperasi dan masih sepi, klinik itu hanya mampu menggaji di bawah rata-rata yang seharusnya diterima seorang dokter. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, si dokter pun ‘nyambi’ melakukan praktik di klinik lain. Tidak sadar, dokter muda ini masuk dalam pusaran kapitalis klinik yang mengutamakan keuntungan besar dengan membayar murah tenaga kesehatan termasuk dokter.

Belum genap setahun menjadi dokter jaga di tiga klinik, kapitalis farmasi mulai mendekat. Para medical representatif demi memenuhi target pemasaran, membujuk dokter meresepkan obat-obat yang mereka pasarkan. Iming-iming bonus pun mengalir. Mulai dari tiket wisata ke Hong Kong, kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, bahkan rumah. Cita-cita ideal dokter saat kuliah untuk membantu pasien miskin makin luntur. Asisten Apoteker di klinik tersebut, melihat resep yang ditulis dokter makin irasional. Namun ia tidak bisa beruat apa-apa, karena tiap bulan dapat ‘cipratan’ rejeki dari dokter.

Ikutan dengan kapitalis farmasi, mendekat pula kapitalis laboratorium klinik yang menawarkan bantuan pendidikan dokter spesialis dengan syarat setelah lulus si dokter merujuk pemeriksaan laboratorium seluruh pasiennya. Tanpa pikir panjang, dr. Bonus menerima tawaran menarik ini. Sudah lama ia mengidam-idamkan statusnya meningkat menjadi dokter spesialis. Otak kapitalis dokter makin jalan, penghasilan besar dan nama tenar terbayang dalam pikirannya. Secara tidak langsung, di belakang laboratorium klinik ini bermain pula kapitalis perusahaan alat kesehatan.

Saat menempuh pendidikan spesialis, ia pun dihadapkan kembali dengan sistem kapitalis. Supaya lulus menjadi mahasiswa pendidikan spesialis, ia harus memiliki deposit atau tabungan minimal dalam hitungan puluhan hingga ratusan juta. Uang dari mana? Untungnya ia tidak perlu pusing-pusing, karena kapitalis laboratorium klinik yang mensponsori sanggup membantu menyelesaikan masalah ini. Lulus menjadi dokter spesialis, saat menempati jabatan struktural di rumah sakit, ia secara langsung bertemu para kapitalis alat kesehatan. Kembali iming-iming bonus dalam bentuk finansial maupun non-finansial ditawarkan. Itulah sedikit kisah tentang dr. Bonus, SpKap.

Kisah fiktif di atas hanya mewakili sebagian dokter yang akhirnya terpaksa terperangkap dalam pusaran pemilik modal sejak di perguruan tinggi sampai ia terjun ke masyarakat. Lalu apa yang dapat kita petik dari kisah di atas dan implikasinya bagi dokter khususnya dan kesehatan masyarakat secara umum?

Pandangan masyarakat akan dokter suka tidak suka makin bergeser ke arah profesi yang lebih transaksional. Seorang dokter olahraga senior pernah menasehati dokter muda yang baru bergabung di klinik tempat saya bekerja. Katanya “kamu boleh menjual keterampilan dokter, tapi jangan menjual profesi dokter. Profesi dokter terlalu mulia untuk dijual, tapi keterampilan dokter tergantung jam terbang kamu”. Bila kita membuka sebuah akun info lowongan kerja medis di sosial media facebook, terbaca dengan jelas tarif jasa pemeriksaan medis yang ditawarkan setiap klinik untuk para dokter. Sesuatu yang tabu dibicarakan pada era 10 sampai 20 tahun yang lalu.

Bagi kesehatan masyarakat, kapitalisasi profesi dokter tidak sejalan dengan semangat implementasi sistem jaminan kesehatan yang sedang berjalan di Indonesia. Seperti kita ketahui, jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia atau JKN mengadopsi bentuk asuransi sosial dengan salah satu prinsipnya adalah gotong royong. Sistem JKN ini pun dipaksakan berlaku di Indonesia, dalam kondisi yang belum siap di mana-mana. Lalu bagaimana mempertemukan dokter yang terpaksa kapitalis ini, dengan sistem jaminan kesehatan di Indonesia yang dipaksa sosialis?

Untuk mengeluarkan para dokter keluar dari lingkaran kapitalis, pemerintah harus mampu sedikti demi sedikit menggantikan peran para pemilik modal mulai dari hulu hingga hilir, dalam bentuk pembiayaan, penyediaan sarana prasarana, kebijakan atau penegakkan sangsi atas pelanggaran etika profesi. Alokasi pembiayaan bisa digunakan untuk bantuan dana pendidikan serta bantuan operasional pendidikan tinggi kedokteran. Sarana dan prasarana salah satunya dibutuhkan untuk membantu proses belajar mengajar pendidikan dokter. Pemerintah juga selalu mengedepankan kebijakan di bidang kesehatan yang melindungi masyarakat dari praktik perselingkuhan dokter-kapitalis.

Saya percaya masih banyak dokter-dokter muda kita yang tidak terjerat kapitalis dunia kesehatan. Sesuai dengan UN declaration of human right, sehat adalah salah satu hak asasi manusia, maka pemerintah harus ada di sana untuk menghindari monopoli dan perangkap kapitalis bagi tenaga kesehatan umumnya dan dokter khususnya. Tentu yang dirugikan adalah mereka yang tidak memiliki modal. Siapa lagi kalau bukan rakyat jelata. Selamat tahun baru 2015, semoga implementasi JKN tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun